Negara Indonesia belum tentu ada dan sejahtera seperti saat ini. Perjuangan anak-anak dibawah umur menjadi penyebar atau corong Proklamasi Kemerdekaan RI patut untuk mendapatkan penghargaan dari semua kalangan.
Bagi anak-anak, tugas berat tersebut tidak seharusnya dipikul mereka. Namun berkat kegigihandan tekat anak-anak yang masih berumur 15 tahunan ini, suara kemerdekaan terdengar di seluruh penjuru daerah Indonesia. Perjalanan mereka untuk menembus belantara hutan, laut dan terkadang adanya intimidasi dari sisa-sisa penjajahan harus dihadapi.
Namun mereka tetap harus maju demi tugas menyebarkan kabar Indonesia telah merdeka. Dikutip dari Okezone, naskah proklamasi yang dibacakan Bung Karno di Jakarta hanya bisa menjangkau sebagian kecil masyarakat di beberapa wilayah yang bisa menangkap siaran berita RRI (Radio Republik Indonesia), dan memiliki radio.
Dua bulan setelah proklamasi, Komisaris Jenderal (Pol) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo waktu itu menjabat Kepala Kepolisian Negara di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diberi tugas mencari pemuda-pemuda (disebut kurir kemerdekaan). Mereka akan dikirim ke pelosok Indonesia, tugas yang diemban adalah untuk menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan.
Orang-orang yang tinggal di pelosok dusun, pinggir hutan, kaki gunung, dan seberang lautan merupakan sasaran anak-anak muda ini, karena banyak yang belum mengetahui Indonesia sudah merdeka.
Memang tidak banyak pemuda yang direkrut menjadi kurir kemerdekaan. Diantaranya ada Gatot Iskandar anak asal Kediri yang ikut Perindo atau Pemuda Republik Indonesia. Waktu itu Gatot baru berumur 15 tahun dan duduk di kelas tiga SMP, ia ditemani temannya bernama Umar yang juga asal Kediri.
Selain kedua anak ini, pemerintah merekrut Suroso dari Angkatan Muda Kereta Api. Bonggar wakil pemuda dari Yogyakarta; Cik Somad asal Palembang; Syamsudin dari Bengkulu; Anwar dan kakak-beradik Azwar dan Rivai asal Minangkabau; juga Hamid yang asli Tapanuli.
Pemuda-pemuda itu berkumpul di asrama di daerah Sawah Besar. Selama dua minggu di gedung Kementerian Penerangan di jalan Cilacap, Jakarta Pusat yang menjadi pusat komando, mereka melakukan rapat-rapat dan pengarahan dari panitia gerakan kemerdekan.
Selain bertugas menyebarkan berita kemerdekaan, kurir kemerdekaan juga ditugasi membagikan brosur dan selebaran, berupa buku-buku tipis ke selurus pelosok Sumatera. Ada buku yang ditulis Sutan Syahrir, buletin Pepera, dan lain sebagainya.
Gatot Iskandar menceritakan, setelah dari markas komando di Sawah Besar, para pemuda itu tidak mendapat fasilitas memadai selama menjadi kurir kemerdekaan. Maklum baru dua bulan merdeka, bahkan untuk ongkos pun disuruh mencari sendiri. Padahal, perjalanan yang dilakukan membutuhkan uang untuk makan hingga transportasi.
“Wah, ciloko. Mau pergi tidak disangoni, tapi malah disuruh cari duit!” cetus Gatot bersungut-sungut.
Sebelum berangkat, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok yang disebar ke Sumatera. Daerah Lampung jatah Umar dan Cik Somad. Bengkulu diserahkan kepada Syamsudin serta Supardi. Kakak beradik Azwar dan Rivai disertai Anwar mendapatkan tugas ke wilayah Sumatera Barat. Tapanuli ditugaskan kepada Gatot dan Hamid. Sedangkan Suroso dan Bonggar mendapat tugas mendatangi wilayah Sumatera Utara.
Rombongan kurir kemerdekaan itu awalnya diberangkatkan menggunakan kapal dari Pasar Ikan. Namun kapal keburu rusak di dekat Tangerang. Akhirnya dengan menumpang kapal nelayan, pemuda belasan tahun itu dipindahkan ke markas militer di daerah Serang. Dan diseberangkan menggunakan kapal Badan Keamanan Rakyat dari Anyer.
Kapal mendarat di Tanjungkarang, kemudian rombongan mulai berpisah. Gatot Iskandar menuturkan, mereka juga diberikan surat tugas baru yang menjelaskan, pembawa surat ini adalah anggota organisasi pemuda dari Jawa yang bertugas menyebarkan berita tentang proklamasi kemerdekaan. Surat itu tetap harus disembunyikan jika menemui patroli tentara Jepang.
Gatot Iskandar kelahiran 4 September 1930 itu mengisahkan, arahan dari Jakarta mewajibkan di tempat mereka berhenti juga harus menyebarkan kabar kemerdekaan.
Kebetulan, saat ini sewaktu naik bus tiba-tiba mogok di daerah Bukittinggi. Ia mendapat sambutan hangat dari warga yang mengetahui tugas berat yang harus dilakukan remaja seusianya.
“Benar, Nak? Negara kita sudah merdeka?!” kata seorang bapak tua seperti tak percaya.
Raut wajahnya yang tadinya terkejut, seketika berubah menjadi gembira ketika Gatot dan temannya Hamid menjawab dengan anggukan kepala. Si pak tua segera mengabarkan kepada para penumpang yang ada di warung tersebut.
“Hai, Bung! Bapak-bapak, Ibu-ibu. Dengar, dengar!” katanya bersemangat. “Ada berita gembira. Negara kita sudah merdeka. Ya, merdeka! Kedua anak muda itu yang bertugas membawa berita itu dan menyebarluaskan kemari!”
Editor : Arif Ardliyanto