Pro-Kontra Pinjaman Rp452 Miliar Surabaya: Peluang atau Beban? Ini Analisisnya
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Beberapa waktu terakhir, Surabaya kembali mencuri perhatian. Bukan karena festival besar atau trotoar instagramable-nya, tapi karena satu langkah yang cukup berani: Wali Kota Surabaya mengajukan pinjaman daerah sebesar Rp452 miliar.
Angka itu tentu tidak kecil. Di tengah perlambatan ekonomi global yang bahkan menyentuh jantung kota-kota besar seperti Surabaya yang biasanya tahan banting muncul pertanyaan wajar: Kenapa harus berutang? Tapi justru di situlah menariknya. Karena kalau ditilik lebih dalam, pinjaman ini bukan semata-mata untuk pembangunan fisik. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk membangun yang lebih mendasar: manusia.
Dalam kerangka ekonomi tradisional, kita terbiasa melihat pembangunan sebagai proyek fisik: jalan diperlebar, drainase dibenahi, lampu jalan dipasang. Tapi, apakah hanya itu makna pembangunan? Di era sekarang, pembangunan tidak bisa hanya diukur dengan panjang jalan, tapi sejauh apa manusia di dalam kota itu ikut bertumbuh.
Saya teringat pada teori Gary Becker, peraih Nobel yang menekankan bahwa pembangunan sejati adalah investasi pada manusia human capital. Maka pertanyaan pentingnya adalah: apakah Rp452 miliar ini hanya akan menjadi beton dan aspal, atau juga akan menjadi ruang kerja bagi anak muda Surabaya yang butuh pekerjaan?
Kalau proyek ini padat karya lokal, melibatkan tenaga kerja muda yang selama ini hanya jadi penonton pembangunan, maka inilah saatnya mengubah narasi: dari membangun kota menjadi membangun warga kota.
Utang Boleh, Asal Ada Skema Pengembalian yang Adil
Sebagian pihak mungkin skeptis. Pinjaman berarti utang. Dan utang bisa jadi beban jangka panjang. Tapi utang tidak selalu buruk. Dalam laporan Bank Dunia tahun 2023, pinjaman publik bisa menjadi katalis pertumbuhan ekonomi—asal digunakan dengan cerdas dan diawasi dengan ketat.
Editor : Arif Ardliyanto