Fakta Mengejutkan, Cucu Bung Karno Ungkap 12.517 Anak Surabaya Drop Out atau Tidak Sekolah!
SURABAYA, iNewsSurabaya.id — Di balik predikat Kota Layak Anak, Surabaya menyimpan persoalan serius. Sedikitnya 12.517 anak tercatat berpotensi tidak melanjutkan pendidikan, sebuah angka yang dinilai mengkhawatirkan dan harus segera ditangani.
Data tersebut mengemuka dalam Workshop Pengentasan Anak Tidak Sekolah (ATS) yang digelar Direktorat SMA Kemendikdasmen bersama Komisi X DPR RI, Minggu (30/11/2025). Dalam forum itu, Anggota Komisi X DPR RI Puti Guntur Soekarno menegaskan bahwa kondisi ATS sudah masuk kategori darurat nasional.
Acara dibuka oleh Kepala UPT Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Dispendik Jawa Timur yang menyebut angka nasional ATS mencapai lebih dari 4 juta anak. Sementara di Jawa Timur, jumlahnya menembus 327 ribu anak.
“Ini persoalan yang tidak bisa dibiarkan. Kita harus bergerak bersama,” ujarnya.

Upaya penanggulangan sebenarnya telah dilakukan, mulai dari penguatan PKBM, peningkatan akses pendidikan kesetaraan, hingga pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) untuk mempermudah pemerataan layanan sekolah.
Dalam keynote speech-nya, Puti menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa lagi menjadikan alasan biaya sebagai penghambat anak mengenyam pendidikan. Ia mengutip putusan Mahkamah Konstitusi pada 27 Mei 2025 yang menyatakan bahwa pendidikan dasar harus digratiskan, baik di sekolah negeri maupun swasta.
“Wajib belajar 13 tahun adalah amanat konstitusi. Pemerintah wajib membiayainya,” ungkap Puti.
Mengutip data resmi Kemdikdasmen tahun 2024, Puti menyebut 12.517 anak di Surabaya tercatat drop out atau lulus tetapi tidak melanjutkan sekolah. Jumlah itu diyakini akan bertambah jika tidak segera ada langkah intervensi yang tegas.
Puti juga memaparkan tiga strategi yang saat ini terus didorong Komisi X DPR RI: Akurasi Data Pendidikan, Intervensi Anggaran, termasuk penyaluran Program Indonesia Pintar (PIP) dan Relevansi Kurikulum dan Penguatan Karakter
Selama masa jabatannya, Puti mengklaim telah menyalurkan 48 ribu PIP untuk siswa di Surabaya dan Sidoarjo serta memperjuangkan Kartu Indonesia Pintar Kuliah agar siswa dapat melanjutkan studi hingga perguruan tinggi.
Perwakilan Direktorat SMA Kemendikdasmen, Oky Ade Setiawan, menjelaskan bahwa berbagai kebijakan telah disiapkan untuk mendukung wajib belajar 13 tahun. Ia menekankan bahwa sekolah harus aktif memberikan masukan dan terlibat langsung dalam pencegahan ATS.
“Kami butuh suara dari Bapak-Ibu guru untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di lapangan,” ujarnya.
Sekolah Diminta Lebih Peka Terhadap Sinyal Anak Putus Sekolah
Suasana forum semakin hidup ketika Moch. Bahak Udin By Arifin, M.Pd.I, dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, menegaskan pentingnya kolaborasi guru BK dalam penanganan kasus ATS.
“Kalau ada masalah ATS, langsung koordinasi. Negara sudah menjamin biayanya. Kalau nggak dibayarin, saya yang bayari,” ujarnya disambut tawa dan tepuk tangan peserta.
Pesan senada juga disampaikan Taneji, MA, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia mengingatkan peran vital guru sebagai garda terdepan pendidikan.
“Guru itu keren karena kritis. Ruang kerjanya kecil, tapi masa depan anak bangsa ada di pundaknya,” katanya lantang.
Workshop ini menjadi pengingat bahwa persoalan anak tidak sekolah bukan hanya tugas pemerintah. Ekosistem pendidikan—mulai dari guru, sekolah, dinas pendidikan, hingga legislatif—harus bergerak dalam visi yang sama.
Dengan jumlah anak rawan putus sekolah yang masih tinggi, para peserta sepakat bahwa langkah penanganan harus dilakukan lebih cepat, lebih terarah, dan lebih kolaboratif.
“Ini awal dari gerakan besar. Kita harus menanggapinya dengan kebijakan yang lebih strategis,” tutup Puti.
Editor : Arif Ardliyanto