Public Speaking Menjadi Benteng Terakhir Profesional Muda di Era AI
Public speaking adalah benteng pertahanan terakhir profesional muda. Kemampuan untuk menatap mata audiens, membaca atmosfer ruangan, dan meyakinkan klien atau atasan secara lisan adalah aset yang tidak tergantikan. Gen Z yang mengabaikan keterampilan ini sama saja menyerahkan masa depan kariernya untuk digilas oleh otomatisasi.
Skeptis mungkin berdalih: di era kerja jarak jauh (remote work) dan pertemuan virtual, kecakapan tatap muka tak lagi relevan. Ini adalah sesat pikir yang berbahaya.
Justru di tengah lautan interaksi digital yang dingin, standar komunikasi lisan semakin tinggi. Dalam kotak-kotak video Zoom atau Google Meet, bahasa tubuh kita terpotong. Kita tidak bisa lagi bersembunyi. Kejelasan artikulasi, intonasi suara, dan struktur argumen menjadi satu-satunya senjata untuk terlihat kompeten. Platform digital tidak meniadakan public speaking, platform tersebut hanya memindahkan panggungnya dan menuntut presisi yang lebih tinggi.
Jika mahasiswa saat ini masih merasa minder atau takut salah bicara, mereka sedang menggali lubang kegagalan mereka sendiri. Rasa gugup adalah manusiawi, tetapi membiarkan rasa gugup menghambat penyampaian ide adalah sebuah kelalaian fatal.
Solusinya tidak bisa lagi sekadar teori di ruang kelas. Gen Z harus dipaksa keluar dari zona nyaman digital mereka. Latihan berbicara di depan cermin mungkin terdengar kuno, tetapi itu langkah awal yang valid. Namun, yang lebih krusial adalah keberanian untuk mengambil peran aktif.
Jangan hanya menjadi peserta pasif dalam webinar. Jadilah moderator. Jangan hanya menjadi anggota numpang nama dalam organisasi kampus. Jadilah inisiator yang berani mempresentasikan program kerja. Manfaatkan media sosial, bukan hanya untuk berjoget atau pamer gaya hidup, tetapi sebagai sarana melatih vokalitas dan penyusunan argumen yang runut.
Pada akhirnya, soft skill ini tidak bisa ditawar. Bagi Gen Z, pilihannya di masa depan hanya dua: belajar bersuara lantang untuk memimpin perubahan, atau diam dan tenggelam selamanya di balik kebisingan notifikasi gawai mereka.
Penulis
Aulya Angelina Trisdiani Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto