Generasi Z: Vokal di Media Sosial, Diam di Dunia Kerja
Sering kali, keengganan berbicara ini divalidasi dengan alasan "saya introvert" atau "saya tidak punya bakat bicara". Ini adalah sesat pikir (logical fallacy) yang harus dipatahkan. Public speaking bukanlah bakat mistis yang dibawa sejak lahir, melainkan keterampilan teknis sama seperti coding atau akuntansi. Ia bisa dipelajari, dibedah strukturnya, dan dilatih.
Menjadikan karakter pendiam sebagai alasan untuk tidak belajar bicara adalah bentuk sabotase diri sendiri. Di era di mana kolaborasi lintas disiplin menjadi norma, kemampuan mengartikulasikan gagasan yang rumit menjadi narasi yang sederhana adalah power. Tanpa public speaking, ide brilian hanyalah konsep yang mati di dalam kepala.
Maka, solusinya bukan lagi sekadar membaca buku teori komunikasi atau menonton video motivator. Gen Z harus memaksa diri terjun ke medan tempur. Angkat tangan saat rapat, ajukan diri untuk memimpin presentasi mingguan, atau setidaknya, belajarmenyampaikan pendapat tanpa kalimat pembuka yang ragu-ragu seperti "maaf kalau salah" atau "mungkin ini agak aneh".
Dunia kerja tidak akan menunggu kita siap. Kompetisi semakin brutal dan bising. Pada akhirnya, mereka yang akan memimpin masa depan bukanlah mereka yang paling cepat mengetik atau paling estetik kontennya. Pemimpin masa depan adalah mereka yang berani berdiri, bersuara lantang, dan meyakinkan orang lain lewat kata-katanya. Bagi Gen Z, pilihannya sederhana: belajar bicara sekarang, atau selamanya hanya menjadi penonton dalam karier sendiri.
Penulis
Revania Prashinta Azzahra Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto