SURABAYA, iNews.id – Musyawarah Cabang (Muscab) Partai Demokrat Surabaya mulai ramai diperbincangkan. Bahkan muncul saling klaim suara tingkat bawah, akankah proses demokratisasi bisa berjalan dengan adil?
Saat ini, jelang Muscab Partai Demokrat Surabaya, dukungan suara di tingkat Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC) Demokrat di Kota Surabaya, menjadi sangat penting. Ada dua kader demokrat yang akan mencalonkan diri sebagai Ketua DPC Demokrat Surabaya.
Pertama yakni, Plt Ketua DPC Partai Demokrat Surabaya, Lucy Kurniasari. Sedangkan kader lain Demokrat yakni, Herlina Harsono Njoto, yang sekaligus anggota DPRD Kota Surabaya. Ia berencana bakal mencalonkan diri untuk merebut kursi ketua DPC Demokrat. Keduanya saling klaim telah mendapatkan dukungan dari DPAC Demokrat di Surabaya.
Pihak Lucy Kurniasari mengklaim, sudah mendapatkan dukungan 29 DPAC. Sedangkan dari pihak Herlina juga mengklaim bahwa sudah mendapatkan dukungan 21 DPAC.
Pengamat Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Fahrul Muzaqqi menyoroti gejolak di tubuh internal DPC Demokrat terkait konflik dualisme dukungan pada Muscab 2022 mendatang.
Fahrul menyebutkan, polemik perebutan manarik simpati pengurus tingkat kecamatan untuk mendukung calon pemimpinnya adalah sesuatu hal yang lumrah dalam politik. Ini menandakan asas demokrasi benar-benar diterapkan.
“Persaingan itu tidak lepas dari konteks konsolidasi Partai Demokrat menuju 2024. Jadi bisa dipahami seandainya memang ada langkah-langkah yang kalau dilihat dari luar ini terkadang sangat dinamis sekali ya. Seperti Lucy yang awalnya didukung oleh 29 DPAC itu ternyata dalam perkembangannya bisa secara dramatis (dukungan) bisa beralih ke pesaingnya, Herlina,” ujar Fahrul saat dihubungi melalui seluler.
Lanjut Fahrul, seiring mencuatnya kabar bahwasannya Lucy bakal mensomasi 13 DPAC karena telah menarik dukungan untuknya, yang kemudian konsekuensinya ialah membuat citra Demokrat “kurang elok” didengar di luar.
“Tapi ya itulah penampilannya politik seperti itu. Jadi segala sesuatunya tidak bisa dipermanenkan. Tidak bisa diputuskan di bawa ke notaris misalkan, itu gak bisa seperti itu,” beber Dosen FISIP Unair Surabaya itu.
Lebih jauh dijelaskan, dari kacamata politik, ia menilai langkah yang diambil Lucy dengan membuat perjanjian kesepakatan dukungan ke notaris adalah satu langkah yang kurang tepat apabila berkaca pada sifat politik praktis.
“Mungkin Bu Lucy merasa dicurangi gitu, ya. Tapi di balik itu rasanya politik praktis ya memang seperti itu. Artinya, di sini mungkin antisipasi atau langkah-langkah yang dilakukan Bu Lucy ini, saya sih melihat kurang matang sehingga dukungannya bisa berpindah ke kompetitornya,” terang dia.
Karena apa? Ia menjelaskan bahwa meminta komitmen untuk pilihannya tidak berubah, agar DPAC tetap mendukung dirinya (Lucy, red) hingga dibawa ke notaris itu rasanya secara politik sebenarnya juga tidak ada jaminan.
“Namanya pilihan politik itu kan hak warga negara, gak bisa kemudian dibatasi hanya untuk kepentingan posisi. Memang ada plus minusnya di situ saya melihat,” pungkasnya.
Editor : Arif Ardliyanto