Pendistribusian BBM bersubsidi seharusnya diprioritaskan untuk kawasan tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Untuk itu harus dibangun kesadaran masyarakat, bahwa kebutuhan energi bukan hanya milik mereka yang tinggal di kota. Karena itu Pertamina terus berupaya meningkatkan jangkauan distribusi BBM ke daerah terpencil.
"Yang kaya seharusnya memberikan jatah BBM mereka yang mahal kepada mereka yang lebih membutuhkan (subsidi silang), jatah pembelian Pertamax yang lebih mahal selisihnya dari pada Pertalite anggap saja sumbangan," ujar Elik.
Untuk itu, ia mendukung upaya pemerintah untuk melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Tentunya dengan menerbitkan aturan yang jelas, agar masyarakat dapat memahami tujuan dan rencana pemerintah dalam memeratakan bantuan energi kepada seluruh Rakyat Indonesia.
"Dengan semakin menipisnya stok BBM bersubsidi, maka kita akan memberikan pembatasan, berkeadilan, memberikan filter pada subyeknya. Untuk menciptakan keadilan, kita harus memahami personal integrity masing-masing," ujarnya.
Untuk mendukung rencana pembatasan BBM bersubsidi, pemerintah harus detail dalam menerapkan klasifikasi penggunanya. Sementara dalam Perpres Nomor 194 tahun 2014, belum dijelaskan tentang siapa yang berhak membeli Pertalite. Akibatnya, semua kalangan masih bisa mengonsumsinya.
"Jadi pasti mengenai aturan yang mengatur, pasti mengenai kedudukan subjek dan subjek hukum, agar terhindar dari kesewenang-wenangan," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta, I Nyoman Suandika.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait