Namun, popularitas Megawati ini mengancam Soerjadi. Kendati demikian, Pada 1993, Soerjadi kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Hanya saja, pemilihan ini tercoreng isu penculikan kader.
Atas isu itulah PDI menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, yang memenangkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Terpilihnya Megawati itu dikukuhkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) yang digelar pada 22 Desember 1993 di Jakarta. Megawati resmi menjabat Ketua Umum PDI periode 1993-1998.
Namun, baru 3 tahun berjalan, PDI menggelar Kongres di Medan. Lewat kongres yang digelar 22 Juni 1996 itu, Soerjadi dinyatakan sebagai ketua umum PDI masa jabatan 1996-1998.
Dari situlah, lahir dualisme kepemimpinan, menghadapkan Megawati dengan Soerjadi. Sementara, pemerintah melalui Kepala Staf Sosial Politik ABRI saat itu, Letjen Syarwan Hamid, mengakui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI hasil Kongres Medan pimpinan Soerjadi. Alhasil, keputusan Munas Jakarta tak dianggap. Kepemimpinan Megawati tidak diakui pemerintah.
Atas campur tangan kekuasaan yang dianggap berat sebelah, dukungan terhadap Megawati pun semakin meluas, utamanya dari kalangan mahasiswa dan aktivis penentang rezim Orde Baru.
Perebutan DPP PDI pun menguat. PDI kubu Mega menjaga kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, siang dan malam. Puncaknya terjadi pada 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait