Nasib Tragis Jenderal Hoegeng Setelah Menangani Kasus Besar

Oktavianto Prasongko
Hoegeng Iman Santoso (Foto: Arsip)

Kepemimpinan Jenderal Hoegeng yang dikenal sebagai polisi yang jujur, integitasnya diuji dari berbagai kasus yang beliau tangani. 

Sosoknya yang tidak mudah disuap seolah menjadi suatu penentang pada masa kepemimpinan rezim Orde Baru saat itu. Salah satu kasus besar yang ditangani oleh beliau adalah penyelundupan mobil mewah oleh Robby Thahjadi pada tahun 1968 dan kasus Sum Kuning.

Dalam kasus penyelundupan mobil mewah tersebut Hoegeng adalah orang yang pertama kali yang berusaha membongkar kasus tersebut. 

Beliau menemukan fakta sejumlah petinggi polisi, tentara, bea cukai dan imigrasi terlibat memuluskan aksi yang merugikan negara ratusan juta rupiah kala itu. 

Awalnya Hoegeng menemukan sejumlah kejanggalan Ketika timnya melakukan penggerebekan dalam penyelundupan mobil mewah di Tanjung Priok.

Setelah melakukan berbagai penyelidikan yang dilakukannya akhirnya pada tahun 1969 Robby Thahjadi dan kakak sulungnya Sigit Wahyudi digelandang ke Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK) Metro Jaya bersama dengan delapan mobil Mercy yang ia selundupkan. 

Namun hanya beberapa jam berada di dalam sel, keduanya bisa keluar dan keduanya bisa keluar menghirup udara bebas karena campur tangan orang kuat dalam kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Thahjadi.

Walaupun Robby sudah bebas dari jeratan hukum naming Hoegeng tetap ingin menyelidiki kasus Robby dengan meminta izin kepada Presiden Soeharto

Dengan izin yang telah dikantonginya Hoegeng langsung membentuk tim investigasi untuk mencari informasi tentang kasus penyelundupan mobil oleh Robby. 

Namun saat ingin menyampaikan hasil investigasinya kepada Presiden Soeharto, Hoegeng melihat Roby baru saja keluar dari rumah Soeharto.

Melihat hal itu Hoegeng merasa dibohongi dan tidak jadi menyampaikan hasil investigasinya kepada Presiden Soeharto. 
Dari hasil investigasi yang dilakukan tim kepolisian, Hoegeng berhasil menemukan fakta dan jaringan yang lebih besar dibalik aksi penyelundupan yang dilakukan oleh Robby Thahjadi. 

Jaringan ini melibatkan nama pejabat seperti Badan Intelejen Sutopo Juono dan Kepala Dinas Penyelundupan Bea Cukai Tanjung Priok Abu Kiswo.

Robby yang divonis hukuman 10 tahun penjara oleh hakim namun menurut Leo Suryadinata dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketces ke-4, Robby hanya menjalani hukuman penjara selama 2,5 tahun. 

Setelah keluar dari penjara dia menggeluti bisnis tekstil dan bermitra dengan keluarga Cendana. Selain kasus Robby Thahjadi saat masih menjabat sebagai KAPOLRI, Hoegeng juga menangani kasus yang pernah menggegerkan masyarakat Yogyakarta, yakni kasus Sum Kuning yang terjadi pada tahun 1970.

Sum Kuning atau Sumariyem adalah seorang gadis penjual telur yang diculik dan diperkosa oleh sejumlah pemuda di Yogyakarta. 

Alih-alih mendapatkan keadilan, Sum Kuning justru mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh sejumlah oknum kepolisian Yogyakarta. 

Pengakuan Sum yang dilakukan akibat ketidakadilan yang dimuat dalam surat kabar lokal justru menjadi petaka yang lebih besar baginya. Dia dijerat hukuman tiga bulan penjara karena dituduh telah memberikan keterangan palsu atas keterangan yang dilakukannya.

Kasus Sum Kuning semakin membesar dan cukup pelik karena diduga melibatkan anak-anak pejabat tinggi dan putra salah seorang pahlawan revolusi. 

Kasus Sum Kuning pun berhembus luas hingga sampai ke telinga Hoegeng. Karena mencium ada hal yang tidak beres dalam kasus itu, Jenderal Hoegeng langsung menyatakan sikap tegas dan tidak gentar menghadapi kasus yang melibatkan sejumlah anak pejabat tinggi yang diduga memperkosa Sum Kuning atau Sumariyem.

Pada akhir Januari 1971 Hoegeng melaporkan kasus Sum Kuning kepada Presiden Soeharto. Namun bukannya memberikan dukungan, Soeharto justru menginstruksikan kasus ini ditangani Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB). 

Hal yang dimata public terlihat aneh mengingat fungsi KOPKAMTIB saat itu adalah menangani kasus politik luar biasa. Sejak instruksi Presiden Soeharto perihal penanganan kasus Sum Kuning otomatis Hoegeng kehilangan jejak perkembangan kasus tersebut. Dirinya kecewa dengan dilepasnya penanganan kasus itu dari tangan kepolisian.

Dalam buku otobiografi Hoegeng beliau menyatakan bahwa sejak terlibatnya Presiden Soeharto dalam kasus Sum Kuning, Hoegeng menganggap ada kekuatan besar yang berhasil menutup-nutupi kasus Sum Kuning. 

Sejak saat itu Hoegeng merasa ragu bahwa kasus tersebut bisa diungkap. Keraguan Jenderal Hoegeng dikemudian hari terbukti benar.

Pada tanggal 2 Oktober 1971 Hoegeng dipensiunkan dini oleh Presiden Soeharto dengan alasan peremajaan. Meski penggantinya adalah Inspektur Jenderal Polisi Muhammad Hasan yang dilihat dari segi usia justru lebih tua darinya. 

Akhirnya Hoegeng dipensiunkan dini dari jabatannya pada usia 49 tahun. Pasca penanganan kasus Robby Thahjadi dan Sum Kuning isu pencopotan Hoegeng dari KAPOLRI melebar luas.

Melalui Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Maraden Panggabean, Hoegeng menerima surat sekaligus penunjukan sebagai Duta Besar untuk Kerajaan Belgia. 

Hal yang terdengar ganjil karena waktu itu masa bakti Hoegeng belum habis. Saat itu rezim Orde Baru memang dikenal kerap membuang para petinggi yang mengancam kekuasaannya. 

Salah satunya hal itu terjadi pada Hoegeng yang ditugaskan sebagai Duta Besar Belgia. Walaupun demikian Hoegeng tetap menolak dan tetap bersikeras mencari jawaban atas pemberhentiannya sebagai KAPOLRI.

Setelah pencopotan Hoegeng sebagai KAPOLRI, Hoegeng menemui Presiden Soeharto di kediamannya di Jalan Cendana No.8 Jakarta. Tanpa didampingi oleh siapapun Hoegeng dating menghadap Presiden Soeharto pukul 10.00 WIB. 

Dalam perbincangannya Presiden Soeharto menyinggung tentang penugasan Hoegeng di Belgia dengan alasan tidak ada tempat baginya di Indonesia. Namun dengan tegas Hoegeng menolak dan dengan lapang dada lebih memilih mundur dari Institusi Kepolisian maupun Institusi Negara.

Hoegeng merasa sejak pencopotannya sebagai KAPOLRI dirinya memang merasa sudah dibuang. Beliau mengisi kegiatannya dengan melukis, menyangi dan bermain musik bergabung dengan The Hawaian Senior. Hoegeng sempat mengisi layar kaca melalui tembang yang dibawakannya bersama The Hawaian Senior selama 10 tahun. 

Seiring berjalannya waktu bersama berbagai Tokoh Nasional seperti Abdul Haris Nasution, Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Perdana Menteri Mohamad Nasir dan lain sebagainya, mereka menandatangani petisi yang mengkritik pemerintahan orde baru yang dikenal dengan Petisi 50.

Petisi yang ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1980 berisi tentang kritikan terhadap Soeharto yang merasa dirinya paling benar melaksanakan Pancasila. 

Seperti yang tercatat dalam buku: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, menyebutkan setelah menandatangani Petisi 50 tersebut seperti halnya dengan sejumlah tokoh lainnya yang ikut menandatangani, Hoegeng mengalami berbagai pencekalan pada masa rezim Orde Baru. 

Dari larangan ke luar negeri, larangan melakukan perjalanan bisnis hingga dilarang untuk menjadi pembicara ataupun menghadiri suatu acara.

Salah satunya Hoegeng dilarang menghadiri upacara Hari Peringatan Bhayangkara. Hoegeng baru boleh menghadiri HUT Bhayangkara pada tahun 1997 atau 10 tahun setelah pencekalan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. 

Setelah tidak lagi mengisi layer kaca sebagai seorang musisi, Hoegeng hidup sederhana melalui dana pensiun dan uang hasil beliau menjual lukisan-lukisan yang dibuatnya.

Setelah menikmati masa pensiunnya dengan menjadi musisi dan melukis, pada tanggal 4 Juli 2004 akibat penyakit stroke yang dideritanya, Hoegeng Iman Santoso menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 82 tahun. 

Sesuai permintaan Hoegeng disaat-saat terakhirnya beliau meminta dimakamkan di tempat Pemakaman Umum berdekatan dengan kerabatnya yang telah meninggal terlebih dahulu.

Walaupun telah tiada namun hingga kini jejak langkah dan karakter Hoegeng Iman Santoso mempresentasikan seorang polisi yang menjadi teladan bagi masyarakat. 

Sosok Hoegeng yang jujur, sederhana, merakyat dan anti korupsi hingga kini masih dirindukan dalam tubuh kepolisian. Sebab kejujuran dalam mengemban amanah adalah suatu keharusan sebagaimana sebuah kutipan Bung Hatta, bahwa: “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat diperbaiki dengan pengalaman, namun tidak jujur akan sulit diperbaiki”  

(Penulis :  Oktavianto Prasongko)

Editor : Ali Masduki

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network