Pengamat Hukum Bisnis dari Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) Yudho Taruno Muryanto menyatakan, putusan pailit PT HSI ini merugikan bank-bank yang bertindak sebagai krediturnya.
Menurutnya, hal ini merusak kepercayaan bank dalam memberikan kredit sesuai dengan prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral) yang menjadi syarat pemberian kredit kepada debitur. Apalagi kasus ini melibatkan nama besar dari perusahaan yang terafiliasi dengan salah satu pemilik grup usaha besar di Indonesia.
“Bagi bank, prinsip 5C adalah dasar penilaian dalam memberikan kredit. Di kasus kredit macet PT HSI ini telah merusak unsur C yang paling pertama: Character, yakni terkait siapa pengelola dan pemilik usaha si debitur. Bank mempertimbangkan memberikan kredit melihat dari siapa pemilik perusahaan debitur. Sedangkan unsur collateral atau jaminan biasanya menjadi hal terakhir yang menjadi pertimbangan bank asalkan keempat C lainnya sudah terpenuhi. Bank berharap debitur bisa menyelesaikan kewajibannya untuk membayar hutangnya, dengan demikian keberlanjutan usaha debitur bisa dijalankan,” ujar Yudho, Kamis (23/2).
Yudho juga menilai jika proses PKPU PT HSI yang terjadi setelah PT HMU menjual sahamnya adalah tidak biasa. Apalagi keluarnya PT HMU dari PT HSI dilakukan tanpa sepengetahuan dari bank pemberi kredit.
Sementara dalam setiap perjanjian dengan bank, PT HSI wajib menyampaikan informasi mengenai rencana ataupun perubahan pemegang saham perseroan.
“Perlu ditelisik apakah pengalihan saham itu memberikan keuntungan untuk perusahaan, atau untuk menghindar dari kewajiban,” ucapnya.
Menurutnya, penjualan saham PT HSI oleh PT HMU menjelang permohonan PKPU yang akhirnya berujung pailit itu berdampak besar terhadap tanggungjawab pengurus perseroan dan pemegang saham lama pada kewajiban PT HSI. Dengan kewajiban kredit kepada 7 bank yang lebih dari Rp 1 triliun, tentu pembeli 50% saham PT HMU adalah orang yang luar biasa.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya yaitu kemana larinya dana-dana hasil pencairan kredit dari 7 Bank nasional tersebut yang mencapai Rp 1 triliun lebih, dan bagaimana pengelolaan para Direksi perseroan dalam mengelola perusahaan dan para Komisaris perseroan dalam menjalankan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan.
Hal ini, tegas Yudho, harus diusut secara tuntas dan ditelusuri secara mendalam karena terkesan bahwa PT HSI ataupun pemegang saham sebelumnya yaitu PT HMU berniat untuk melarikan diri atau menghindari dari tanggung jawab atas kewajiban pada Bank-Bank dengan menggunakan instrumen hukum berupa PKPU dilanjutkan Kepailitan.
"Karena ini merupakan tindakan berbahaya penggunaan instrumen hukum dalam industri perbankan secara khusus dan ekonomi negara secara umum jika cara-cara seperti ini digunakan para Debitur untuk menghindari kewajiban kredit," tegasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait