SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Ibu rumah tangga (IRT) di Indonesia banyak yang terjangkit HIV. Yang bikin miris, jumlahnya diatas pekerja seks komersial (PSK).
Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat, Ibu rumah tangga (IRT) menjadi salah satu penyumbang terbesar dengan angka mencapai 35 persen dari total kasus yang ada pada tahun 2023. Kasus HIV baru pada kelompok IRT bertambah sebanyak 5.100 kasus setiap tahunnya.
Dr Arief Hargono drg MKes, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) menuturkan, bahwa fenomena ini sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19.
“Kasus ini sangat memprihatinkan karena data absolut yang ada menunjukkan bahwa IRT penderita HIV lebih tinggi dibanding wanita pekerja seks atau penyuka sesama jenis,” tuturnya.
Menurut Dr Arief ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, kasus di lapangan memang dalam jumlah banyak. Kedua, hal ini terjadi akibat dampak pandemi Covid-19.
“Ketika pandemi, semua program kesehatan hanya fokus pada penanggulangan Covid-19 sehingga program lain sedikit teralihkan. Bukan hanya HIV tapi penyakit lain juga cenderung turun saat pandemi,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa saat ini pandemi Covid-19 sudah berangsur membaik bahkan WHO telah mencabut status pandemi. Hal ini menyebabkan berbagai program kesehatan pemerintah mulai berjalan sebagaimana mestinya.
“Peningkatan penemuan jumlah kasus termasuk HIV kemungkinan besar mengalami peningkatan, terutama jika dipengaruhi adanya faktor risiko,” imbuhnya.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya fenomena ini. Pertama, IRT memperoleh virus HIV dari pasangannya. “Jadi pasangan IRT bisa saja melakukan perilaku yang berisiko tinggi,” tutur Dr Arief.
Kedua, virus didapatkan dari IRT itu sendiri. Koordinator Program Studi Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana UNAIR tersebut menghimbau kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya HIV.
“Perlu adanya kesadaran utamanya bagi masyarakat yang melakukan perilaku risiko tinggi. Tapi di sisi lain masih ada stigma di masyarakat yang menyebabkan mereka merasa takut untuk memeriksakan status HIV-nya,” ujarnya.
Beberapa perilaku risiko tinggi yang dapat menularkan HIV seperti melakukan hubungan seks dengan penderita HIV atau menggunakan jarum suntik secara bergantian.
“Kedua hal ini merupakan contoh perilaku yang berisiko menularkan HIV. Perilaku ini harus diwaspadai seiring dengan fenomena di masyarakat yang mungkin melakukan perilaku tersebut,” jelasnya.
Ia mengatakan, terdapat potensi penularan HIV dari ibu ke anak. Penularan ini dapat terjadi saat proses kehamilan, persalinan, atau saat menyusui.
Namun penularan ini ternyata dapat dicegah dengan cara memeriksakan status HIV ibu sejak dini. Pemeriksaan ini dapat dilakukan segera setelah ibu dinyatakan hamil.
“Kalau terbukti positif nanti akan diberikan terapi obat dengan pengawasan dokter. Obat ini bisa mengurangi tingkat virus HIV dalam darah sehingga penularannya ke janin dapat diturunkan seminimal mungkin,” ungkap Dr Arief.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah mengadakan sebuah program yang dinamakan PMCTC (Prevention of Mother to Child HIV Transmission) untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Perlu adanya sosialisasi lebih lanjut agar ibu, pasangan baru menikah, atau ibu hamil bisa memanfaatkan program ini dengan baik.
Diketahui, HIV atau human immunodeficiency virus adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, daya tahan tubuh akan makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.
Jika seseorang mengidap HIV dan tidak mendapatkan pengobatan, virus tersebut akan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Pada akhirnya, infeksi tersebut akan berubah menjadi AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) dan tubuh akan sulit melawan infeksi.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait