Ratna mengatakan, dulu ide mendirikan Poliwangi adalah untuk menolong dan mengembangkan SDM di daerahnya, terutama para petani dan nelayan. Juga ingin mengembangkan dunia pariwisata, karena berdekatan dengan Pulau Bali. Bukan untuk tujuan komersial sama sekali.
Dirinya mengaku bersyukur jika akhirnya Poliwangi yang inisiasi awal oleh Pemkab Banyuwangi dan didukung DPRD tersebut dapat berkembang pesat.
“Waktu itu ada 60 kabupaten di Indonesia yang berminat mendirikan politeknik, tetapi jatah untuk batch 2 hanya ada enam titik. Setelah diseleksi yang dapat hanya lima titik, salah satunya ya Poliwangi ini,” katanya.
Sementara itu Sugihartoyo, SH, MH, menjelaskan urgensi membuat buku sejarah bagi sebuah institusi. “Sejarah adalah spirit. Jika sejarah itu tertulis, maka nilai-nilai dan spirit yang menjiwai para perintis dan pendiri saat mendirikan Poliwangi dapat dikenali lalu dapat diwariskan kepada generasi penerusnya,” katanya.
Sugihartoyo menceritakan betapa kehadiran Poliwangi saat itu membutuhkan keberanian dari pimpinan daerah yang dituntut untuk berkontribusi dalam penyertaan pembiayaan dengan komposisi 70 persen pusat dan 30 persen daerah.
“Tentu butuh keberanian dan lobi-lobi tingkat tinggi agar APBD dapat memenuhi persyaratan yang ditretapkan pusat,” katanya.
Waktu itu, katanya menambahkan, pimpinan daerah hanya berpikir bagaimana warga Banyuwangi bisa memperoleh Pendidikan tinggi yang memadai di daerah sendiri agar devisa masyarakat tidak ke luar dari Banyuwangi.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait