Naning memaparkan bahwa UNICEF merupakan bagian dari PBB yang memiliki mandat atau wewenang untuk memastikan instrumen-instrumen internasional terkait pemenuhan dan perlindungan anak dapat diadopsi oleh negara-negara peserta PBB, termasuk Indonesia.
“Pemerintah pusat melalui Kemenaker (Kementerian Ketenagakerjaan), maupun pemerintah daerah melalui Disnaker (Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja) sudah memiliki perangkat kebijakan hukum yang sangat membatasi anak bekerja di sektor formal,” paparnya.
Oleh sebab itu, UNICEF bersama ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) mengajak Pemkot Surabaya mengakhiri pekerja anak dengan melakukan pendekatan multi stakeholder dan penguatan sistem perlindungan anak untuk mewujudkan Kota Layak Anak (KLA). “Karena ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan, pekerja anak merupakan salah satu isu dalam perlindungan anak,” ujarnya.
persoalan yang dialami seluruh dunia, mendorong UNICEF bersama ILO memperkenalkan pendekatan multisektoral untuk menghapus pekerja anak. Pekerja anak juga berkaitan dengan identitas legal mereka. Jika anak-anak tersebut tidak memiliki identitas, maka akses terhadap pelayanan dan perlindungan sosial atau terhadap layanan lainnya menjadi sulit.
“Kalau dia tidak memiliki akses layanan dasar, sama artinya dia tidak memiliki perlindungan. UNICEF dan ILO memastikan semua anak di dunia memiliki identitas legal,” terangnya.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait