JAKARTA, iNewsSrabaya.id – Puluhan mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang tergabung dalam Forum Rakyat Demokratik (FRD) untuk Keadilan Korban Penghilangan Paksa, mengingatkan kasus penyelesaian HAM masa lalu. Mereka mengecam para politisi yang lupa sejarah.
Tuntutan penuntasan kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM berat masa lalu dinyatakan bertepatan dengan peringatan peristiwa 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan “Kuda Tuli”.
"Ini adalah upaya kami melawan lupa. Di tahun politik, kami tidak ingin orang melupakan kasus orang hilang dan semua pelanggaran HAM masa lalu hanya karena kepentingan-kepentingan politik pragmatis jangka pendek. Semua pelaku kejahatan HAM seharusnya tidak dipilih dan didukung untuk duduk dalam legislatif atau eksekutif, karena akan menciderai reformasi dan keluarga korban," ungkap Sekjen PRD periode 1996 – 2002 Petrus H. Hariyanto dalam konferensi pers yang digelar di kantor YLBHI, Kamis 27 Juli 2023.
Petrus juga menyatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu menjadi syarat pembangunan persatuan bangsa.
"Tanpa penyelesaian kasus Ham masa lalu, maka tidak ada persatuan yg substansial. Karena itu, nasionalisme yang kami majukan adalah nasionalisme kemanusiaan seperti yg dinarasikan oleh Sukarno,” ungkap Petrus.
Di kantor YLBHI ini pula, 27 tahun lalu, pada 22 Juli 1996 Petrus mendeklarasikan berdirinya PRD bersama Budiman Sudjatmiko dan sejumlah kader PRD lainnya.
Pasca deklarasi PRD dan setelah meledaknya peristiwa 27 Juli 1996, para aktivis PRD—termasuk para anggota dari organisasi di bawahnya (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia/PPBI, Serikat Tani Nasional/STN, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi/SMID, dan Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat/Jaker), serta sejumlah aktivis demokratik lainnya, menjadi buronan politik.
Beberapa aktivis dipenjara, dan sebagian lainnya kemudian hilang pada era 1997/1998. Para aktivis yang hilang ini sebagian kembali, satu orang ditemukan meninggal, dan sebagian belum kembali hingga hari ini.
“Masa lalu kami yang direpresi dan dituduh komunis pasca 27 juli 1996 adalah fakta sejarah, bukan fiksi. Masa lalu yang penuh darah, air mata dan pengorbanan ini yang harus diingat. Jangan diabaikan, apalagi dilupakan. Para mantan aktivis yang jadi figur di berbagai partai politik saat ini lahir dari pengorbanan kawan-kawannya. Seharusnya mereka tidak lupa itu," ungkap Lilik Hastuti, mantan aktivis SMID yang juga pengurus KPP PRD 1999.
Menurut catatan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), ada 13 orang yang belum kembali hingga hari ini. Empat diantaranya adalah para aktivis PRD, yakni Wiji Thukul, Bima Petrus, Herman Hendrawan, dan Suyat. Sementara Gilang ditemukan meninggal di Hutan di Magetan pada 23 Mei 1998.
Dalam sejumlah kesempatan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan IKOHI menilai, pemerintah masih mengabaikan hak-hak keluarga korban penghilangan paksa. Hal ini terutama terkait dengan kejelasan nasib anggota keluarga yang hilang.
Pada Oktober 2009, DPR telah membuat empat rekomendasi untuk Presiden RI terkait penyelesaian kasus penghilangan paksa 1997-1998.
Pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang.
Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Perkembangan terkini, kasus penghilangan paksa 1997/1998 telah mendapatkan pengakuan dari Presiden Republik Indonesia pada 11 Januari 2023. Hal itu didasari atas rekomendasi Tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat (PPHAM) atas kebijakan presiden melalui Keppres No. 17/2022.
Namun demikian, perjuangan keluarga korban masih panjang untuk mendapatkan hak-haknya sesuai dengan rekomendasi DPR RI 2009 tersebut.
Menurut Sekjen IKOHI Zaenal Mutaqien, para keluarga korban orang hilang dan korban HAM lainya meskipun menerima reparasi, tapi tetap menuntut penyelesian yudisial oleh negara.
“Jadi tidak benar keluarga korban HAM tidak menghendaki penyelesian yudisial. Dan penyelesaian yudisial akan sulit dilakukan bila negeri ini akan dipimpin oleh pelaku kejahatan HAM masa lalu,” ungkapnya pada kesempatan sama.
FRD Pro Korban Penghilangan Paksa berharap bahwa tahun politik dan keriuhan jelang Pemilu 2024 tidak membuat publik kemudian melupakan desakan atas tindak lanjut rekomendasi ini.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait