DPR RI Kritik KPU, 70% Komisioner Daerah Tak Layak Kerja, Proses Rekrutmen Beraroma Transaksional?

Arif Ardliyanto
Wakil Ketua Komisi II DPR, Junimart Girsang, menyoroti proses rekrutmen anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah. Foto iNewsSurabaya/tangkap layar

JAKARTA, iNewsSurabaya.id - Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi pembicaraan hangat di DPR RI. Isu terhangat, cara kerja KPU dinilai tidak layak karena banyak anggotanya yang tak memiliki integritas tinggi hingga adanya dugaan transaksional dalam proses perekrutan

Wakil Ketua Komisi II DPR, Junimart Girsang, menyoroti proses rekrutmen anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah yang dinilainya tidak efektif. Dalam rapat kerja bersama KPU RI di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024), Junimart mengungkapkan bahwa 70% komisioner KPU yang terseleksi tidak mampu bekerja dengan layak dan minim integritas.

"Saya tidak tahu bagaimana cara rekrutmen KPU di daerah itu. Saya nyatakan hampir 70% komisioner KPU tidak layak pakai. Kenapa? Tidak punya integritas. Mereka hanya cari kerja, bukan untuk kerja," ujar Junimart.

Menurutnya, banyak anggota KPU yang mendaftarkan diri hanya demi mencari pekerjaan, bukan karena komitmen untuk melayani masyarakat. Hal ini, lanjutnya, memicu praktik transaksional yang merajalela di lingkungan KPU.

"Yang berujung ke mana? Transaksional. Saya bisa buktikan transaksional," tegasnya.

Selain itu, Junimart juga menyoroti kurangnya kerjasama di antara anggota KPU sendiri. Ia mengungkapkan bahwa kecurigaan dan ketidakpercayaan antar anggota sangat tinggi, menghambat kerja kolektif mereka.

"Contoh, saya telepon salah satu anggota KPU di dapil saya, 'tolong saya diberikan C1'. Apa jawaban dia Pak? Di tangan Pak Ketua, saya minta tidak boleh. Ada apa? Ada apa Pak? Kok bisa?" ungkapnya, mempertanyakan transparansi di tubuh KPU.

Tidak hanya di level komisioner, Junimart juga menuding adanya praktik transaksional di tingkat PPK, PPS, hingga Panwaslu. Ia menyebut pengalaman timnya yang diminta uang sebesar Rp 25 juta hanya untuk mendapatkan hasil TPS, dengan alasan untuk biaya fotokopi.

"Ketika tim saya meminta hasil dari TPS, misalnya. Mereka minta, Pak, Rp 25 juta. Alasan untuk fotokopi. Kita minta PDF-nya. 'Di sini, Pak, nggak ada PDF'. Nggak ngerti kalian PDF. Ini realita, Pak, realita," ujarnya dengan nada kesal.

Editor : Arif Ardliyanto

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network