Ngatumi memanfaatkan sebagian ruang tamu rumahnya di BSD untuk di taruh mesin jahit dan mesin obras. Sejauh ini, para pelanggannya mayoritas dari warga dan juga lembaga pendidikan di BSD. Terkadang dia menerima pesanan menjahit untuk seragam sekolah. Kadang ada juga warga yang ingin permak gamis dan baju-baju yang lain. “Biasaya ramai jahitan itu kalau musim tahun ajaran baru dan Lebaran,” katanya.
Dia mengaku, penghasilan dari menjahit ini tidak begitu besar. Dalam sebulan, terkadang tidak sampai Rp1 juta. Bahkan, saat musim Lebaran dan juga tahun ajaran baru, pendapatanya tidak sampai Rp2 juta dalam sebulan. Sebab, tidak semua warga menjahitkan bajunya saat Lebaran. “Pada saat hari raya, kadang hanya permak-permak saja. Kadang sehari dapat Rp15 ribu. Kadang saya juga putus asa,” terangnya.
Jembatan Mujur yang sempat terputus kini mulai bisa dilewati. Jembatan ini menjadi penopang ekonomi masyarakat lereng Gunung Semeru. Foto iNewsSurabaya/lukman
Hal yang membuat Ngatumi tetap bersemangat untuk menekuni profesi ini adalah ketiga anaknya yang masih bocah. Bagaimanapun, mereka harus bisa makan setiap hari. Beruntung biaya pendidikan sudah gratis. Sehingga, Ngatumi tidak terbebani dengan biaya tersebut. “Saya takut kembali ke sana (rumah sebelumnya), karena dekat dengan sungai (Kecamatan Pronojiwo, tepatnya di dekat sungai Curah Kobokan),” ujarnya.
Salah satu penghuni Huntap BSD lainnya, Mahfud mengaku sudah tiga tahun tinggal perumahan yang dibangun oleh pemerintah tersebut. Sebelumnya, rumahnya ada ada di Desa Curah Kobokan, Kecamatan Pronojiwo porak poranda diterjang lahar termasuk ternak kambing 8 ekor peliharaannya. “Saya betah tinggal di rumah ini (Huntap), karena bangunannya permanen dan lokasinya aman dari gempa,” katanya.
Waktu masuk pertama kali tinggal di Huntap, Mahfud mendapat bantuan dari pemerintah berupa kasur, peralatan rumah tangga dan lain-lain. Untuk listrik selama ini tidak ada gangguan hanya air yang kadang-kadang tidak mengalir juga ada iuran untuk sampah dan WC sebulan Rp10 ribu. “Untuk kesehatan dan pemeriksaan dokter serta obat-obatan tidak dikenakan biaya,” ungkapnya.
Kakek berusia 70 tahun ini mengaku, saat ini dia berupaya menyambung hidup dengan membuka toko kebutuhan rumah tangga sehari-hari guna melayani penghuni di Huntap. Dalam sehari, dia bisa mengantongi penghasilan Rp200 ribu. “Alhamdulillah, penghasilan lumayan. Bisa untuk makan setiap hari,” terangnya.
Terpisah, Kepala Desa Sumber Mujur Yayuk Sri Rahayu menambahkan, lokasi bangunan Huntap dulunya adalah bekas perkebunan yang luasnya 24 hektar. Adapun fasilitas sosial yang dibangun pemerintah di Huntap ini diantaranya, tempat ibadah, kantor kepengurusan air bersih, tempat pembuangan sampah, kandang hewan, sekolah paud, gedung pertemuan, stadion dan lain-lain.“Juga ada bantuan ternak yaitu sapi dan kambing,” katanya.
Sementara itu, Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang, Patria Dwi Hastiadi mengatakan, pemulihan ekonomi warga korban erupsi menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Saat ini, pemerintah telah menyusun dokumen Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana (R3P). Dokumen ini menjadi pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah daerah maupun pihak lain.
“Harapannya, dalam waktu tiga tahun, korban erupsi bukan hanya pulih dari rasa trauma dan sebagainya, tetapi juga pulih dari sisi kehidupan lain. Kita juga memberi bantuan pelatihan dan juga permodalan untuk warga (korban erupsi),” katanya.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait