SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai awal tahun 2025 menjadi salah satu kebijakan fiskal yang paling dinantikan dan diperbincangkan di Indonesia. Kebijakan ini diproyeksikan memberikan dampak luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari kenaikan harga barang dan jasa hingga perubahan pola konsumsi. Artikel ini bertujuan mengulas dampak kenaikan PPN, menganalisis implikasinya, dan mencoba menjawab pertanyaan mendasar: siapa yang diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan ini?
Kenaikan PPN diperkirakan akan paling membebani masyarakat berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pengeluarannya dialokasikan untuk kebutuhan pokok. Di sisi lain, kelompok berpenghasilan tinggi dan perusahaan besar cenderung lebih mudah beradaptasi. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga rentan tertekan, karena kenaikan biaya produksi dapat menurunkan daya saing mereka di pasar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat dari 4,93 persen menjadi 4,82 persen pada tahun 2023, atau sebesar 0,11 persen Penurunan ini sejalan dengan penelitian Siahaan (2023) serta Agustina dan Hartono (2022), yang menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN mengurangi daya beli dan konsumsi masyarakat secara keseluruhan.
Di tingkat makro, kenaikan PPN memiliki dua sisi. Di satu sisi, kebijakan ini berpotensi meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai pembangunan dan program sosial. Namun, di sisi lain, kenaikan ini juga berisiko menurunkan daya beli masyarakat, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memicu inflasi. Inflasi yang tidak terkendali dapat memperburuk ekspektasi pasar dan memengaruhi stabilitas ekonomi jangka panjang.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait