SURABAYA, iNEWSSURABAYA.ID – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Timur (Jatim) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2024, sebanyak 8.394 pekerja dari 21 Kabupaten/Kota di Jatim terpaksa terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kabupaten Nganjuk tercatat sebagai daerah dengan angka PHK tertinggi, yakni 1.851 pekerja. Disusul oleh Kabupaten Pasuruan dengan 1.338 pekerja, dan Kabupaten Sidoarjo dengan 1.206 pekerja.
Berdasarkan data yang dirilis, sektor industri dan industri dasar kimia menjadi penyumbang PHK terbanyak, dengan jumlah mencapai 6.001 pekerja. Kepala Disnakertrans Jatim, Sigit Priyanto, menegaskan bahwa pemerintah daerah berkomitmen memberikan pelatihan dan program pemulihan bagi para pekerja yang terdampak PHK.
"Kami akan memberikan pelatihan bagi pekerja yang terkena PHK untuk membantu mereka kembali ke dunia kerja," ujarnya pada Kamis (20/2/2025).
Menanggapi fenomena ini, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Gigih Prihantono, mengungkapkan bahwa Jawa Timur membutuhkan dorongan besar dalam hal arus investasi. Peningkatan investasi, menurut Gigih, dapat menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lebih banyak lapangan kerja.
"Pemerintah daerah harus lebih proaktif dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dengan adanya peningkatan investasi, ekonomi Jatim dapat berkembang lebih pesat, sekaligus menciptakan lebih banyak peluang kerja," ujar Gigih.
Menurutnya, sektor yang paling terdampak dari kekurangan investasi adalah sektor tenaga kerja. Banyak proyek investasi membutuhkan tenaga kerja terampil, yang tentunya bisa menyerap lebih banyak pekerja lokal. "Arus investasi yang lancar akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memberikan peluang kerja bagi banyak orang," tambahnya.
PHK Massal sebagai Dampak Krisis dan Boikot Produk
Gigih juga menyoroti lonjakan angka PHK yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, di mana banyak perusahaan terpaksa memangkas jumlah karyawan untuk mengurangi beban operasional. Salah satu faktor pemicu adalah penurunan konsumsi yang cukup signifikan, serta tekanan dari boikot terhadap produk tertentu yang membuat perusahaan harus mengambil langkah drastis.
"Ketika konsumsi menurun drastis, salah satu cara perusahaan bertahan adalah dengan melakukan efisiensi, termasuk pengurangan karyawan," jelasnya.
Meskipun situasi PHK yang terus meningkat, Gigih menilai bahwa Jawa Timur masih memiliki banyak keunggulan untuk menarik investasi. Dengan angkatan kerja yang besar dan terampil, serta lokasi strategis yang mendukung, Jatim menjadi salah satu daerah ideal bagi investor.
"Jawa Timur memiliki sumber daya alam yang melimpah, pasar yang besar, dan lokasi yang sangat strategis. Ini adalah faktor-faktor yang membuat Jatim sangat menarik bagi investor," ungkapnya.
Namun, untuk mencegah dampak negatif lebih lanjut dari fenomena boikot terhadap perusahaan, Gigih berharap pemerintah segera turun tangan. "Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah untuk meredakan dampak boikot ini dan menjaga kestabilan sektor industri di Indonesia," tambahnya.
Sebelumnya, Forum Bahtsul Masa'il se-Jawa Madura juga telah mengeluarkan sikap terkait aksi boikot terhadap produk atau perusahaan tertentu. Forum ini menilai bahwa boikot yang tidak tepat dapat merugikan pekerja Indonesia, terutama jika boikot tersebut menyebabkan PHK massal tanpa solusi yang memadai.
KH. Aris Ni'matulloh MAF, M.Si, Katib Dewan Sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon, yang juga menjadi Mushohih dalam forum tersebut, mengimbau agar masyarakat lebih selektif dalam menyikapi isu boikot produk. "Kita perlu memastikan bahwa boikot yang dilakukan tidak merugikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan," tuturnya.
Forum Bahtsul Masa'il merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh kalangan pesantren untuk membahas isu-isu kontemporer berdasarkan sudut pandang syariat Islam, dengan tujuan untuk memberikan solusi yang adil dan bijak bagi masyarakat.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait