SURABAYA - Hidup seperti laju roller coaster pernah dijalani Bu Findhy, warga Simokali, Kabupaten Sidoarjo. Dia pernah berada di atas ketika suaminya yang bekerja di media ternama, memiliki gaji bulanan cukup besar. Namun, dia juga pernah merasakan masa-masa berjuang setelah suaminya memilih resign karena alasan keluarga dan menjadi pekerja non kantoran.
Awalnya, kondisi ekonomi Bu Findhy dan keluarganya baik-baik saja. Meski tidak lagi mendapat gaji bulanan, suaminya masih punya kesibukan lumayan menghasilkan. Menjadi dosen praktisi di kampus, mengisi acara pelatihan di instansi pemerintahan, juga orderan pekerjaan menulis lainnya.
Atas izin suaminya, Bu Findhy juga mulai membuka usaha kecil-kecilan. Kegemarannya bikin kue dan memasak, disalurkan untuk berjualan kue, kerupuk, maupun menu bekal sekolah anak-anak. Usaha rumahan ini sempat berjalan bagus. Dia rutin mendapatkan pesanan. Bahkan kadang dalam jumlah cukup besar ketika ada acara di perumahan.
Awalnya, dia tidak berpikir bakal memulai usaha rumahan tersebut. Dengan latar pendidikan S2 dari Universitas ternama di Surabaya, Bu Findhy dulunya sempat mendapat tawaran menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi.
Namun, tawaran itu tidak diambilnya karena pertimbangan jarak tempat mengajar yang jauh. Sempat bekerja kantoran, dia lantas resign tak lama setelah menikah dan memiliki anak. Dia memilih fokus mengasuh anak.
Lantas, demi bisa membesarkan usaha kuliner rumahan tersebut, suaminya lantas memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari BRI. Tak hanya ingin membesarkan usaha, dengan KUR BRI, ada rencana wirausaha lainnya yang ingin mereka wujudkan.
Namun, wabah Covid-19 yang datang tak terduga beberapa tahun lalu yang diikuti dampak seperti efisiensi anggaran di instansi pemerintahan, work from home, hingga aktivitas anak-anak belajar di rumah, mengacaukan rencana yang mereka susun.
Praktis, usaha kuliner menu bekal sekolah anak-anak yang sudah berjalan pun terhenti. Sebab, anak-anak sekolah di rumah sehingga tidak perlu membawa bekal. Job suaminya yang dulu sering mengisi pelatihan pun berkurang karena imbas efisiensi anggaran.
Usaha jualan kerupuk juga terdampak. Awalnya, berjualan kerupuk mentah dan matang (digoreng minyak), dipilih karena kebetulan perumahan yang mereka tinggali, dekat dengan kampung sentra kerupuk. Sehingga, untuk kulakan jadi mudah.
Namun, tidak pernah terbayangkan sebelumnya, harga minyak lantas melonjak dratis imbas melambungnya harga minyak dunia. Harga minyak naik 100 persen. Maka, usaha jualan kerupuk pun sementara terhenti.
Semesta seolah sedang menguji mereka. Rencana-rencana bagus dengan bayangan cerah yang telah mereka susun, mendadak seperti gelap.
Tapi, Bu Findhy meyakini, janji Allah SWT yang tertulis dalam Al Quran, bahwa bersama kesulitan itu akan ada kemudahan, memang benar adanya.
Sembari bersabar dan bertahan, Bu Findhy dan suaminya terus berikhtiar. Mereka mencoba peluang-peluang usaha baru yang bisa dijalani. Kerja menulis dan juga bakulan (berdagang) agar cuan tetap mengalir. Kalau kata orang dulu, agar asap dapur tetap mengepul.
"Sesulit apapun, kami tidak mau berputus asa. Kami terus berikhtiar menjemput rezeki. Semangatnya demi anak-anak," ujar Bu Findy, Sabtu (8/3/2025).
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait