Dari sisi tanggung jawab perusahaan media, Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 mencatat bahwa tingkat perlindungan yang diberikan perusahaan terhadap jurnalis berada di angka 73,32. Meski tergolong cukup baik, masih terdapat ruang untuk perbaikan, terutama dalam meningkatkan standar operasional prosedur (SOP) keselamatan kerja, khususnya bagi jurnalis yang melakukan liputan di area berisiko tinggi.
Perusahaan juga perlu memastikan adanya perlindungan hukum dan pendampingan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman, serta menyediakan pelatihan rutin, termasuk pelatihan keamanan digital, untuk mengantisipasi peretasan dan penyadapan.
Di sisi lain, peran pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap jurnalis masih menghadapi tantangan besar. Dengan skor 64,39 dalam indeks keselamatan, regulasi yang ada saat ini masih dinilai belum cukup untuk menjamin keamanan jurnalis.
Beberapa kebijakan bahkan berpotensi membatasi kebebasan pers dan dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang aturan-aturan tersebut dan mengimplementasikan program perlindungan yang lebih konkret, seperti yang diterapkan di sektor-sektor pekerjaan berisiko tinggi lainnya. Selain itu, kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, Dewan Pers, organisasi HAM, dan serikat pekerja jurnalis sangat diperlukan dalam merancang kebijakan yang benar-benar melindungi jurnalis di lapangan.
Selain risiko kekerasan dan ancaman hukum, kondisi ekonomi yang tidak stabil juga berdampak pada keselamatan mental dan fisik jurnalis. Pemangkasan anggaran, pemutusan hubungan kerja (PHK), serta efisiensi besar-besaran di berbagai perusahaan media, semakin memperburuk situasi.
Dalam menghadapi kondisi ini, perusahaan media dituntut untuk tetap memprioritaskan keselamatan kerja jurnalis, sementara serikat pekerja juga harus lebih aktif dalam membela hak-hak jurnalis yang terdampak PHK.
Kesimbangan antara efisiensi bisnis dan jaminan keamanan kerja perlu dijaga agar kualitas jurnalisme tetap terjaga tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja media.
Melihat berbagai tantangan tersebut, beberapa langkah konkret harus segera diambil untuk memperkuat perlindungan bagi jurnalis.
Salah satunya adalah penerapan manajemen risiko bagi jurnalis, termasuk pelatihan keselamatan di lapangan dan keamanan digital. Perusahaan media juga harus lebih proaktif dalam meningkatkan perlindungan bagi pekerjanya, baik melalui penyusunan SOP keselamatan yang lebih ketat maupun penyediaan pendampingan hukum bagi jurnalis yang menghadapi ancaman.
Selain itu, regulasi yang menghambat kebebasan pers harus direvisi agar tidak menjadi alat kriminalisasi bagi jurnalis yang menjalankan tugasnya secara profesional.
Lebih jauh, kerja sama antara pemerintah, perusahaan media, dan organisasi jurnalis harus diperkuat untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan mendukung kebebasan pers yang sehat. Di tengah tantangan efisiensi di sektor media, kesejahteraan jurnalis tetap harus menjadi prioritas utama.
Sebagai praktisi K3, Edi Priyanto menekankan bahwa keselamatan jurnalis adalah hak fundamental yang tidak bisa diabaikan.
“Perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya kepentingan individu, tetapi juga bagian dari upaya menjaga demokrasi dan kebebasan pers yang sehat di Indonesia,” ujarnya.
Jurnalis yang bekerja dengan aman dan terlindungi akan mampu menghadirkan informasi yang akurat dan berimbang, yang pada akhirnya akan membawa manfaat bagi masyarakat luas.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait