SURABAYA – Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menilai jika RUU TNI disahlan maka akan membawa Indonesia mundur ke era sebelum reformasi.
Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Kontras, Andy Irfan, usai menggelar diskusi publik terkait Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang sedang ramai dibahas, Rabu (19/3) malam. Diskusi ini digelar di Kantor Kontras, Jalan Monginsidi, Kota Surabaya, dan dihadiri langsung oleh Sekretaris Jenderal Kontras, Andy Irfan.
Acara yang berlangsung sejak sore hingga malam hari tersebut dihadiri puluhan peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari aktivis, mahasiswa, hingga perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Diskusi ini membahas respons terhadap RUU TNI yang saat ini sedang diprioritaskan oleh DPR RI dan akan segera diparipurnakan.
Andy Irfan, dalam sambutannya, menyatakan bahwa RUU TNI merupakan upaya serius untuk mengembalikan fungsi TNI di luar ranah pertahanan.
"Kontras menyimpulkan bahwa RUU ini berupaya mengembalikan peran TNI ke area sipil. Jika kita melihat draf RUU yang beredar, ada 15 posisi jabatan sipil yang boleh diduduki oleh perwira militer. Ini akan berdampak luas terhadap tatanan demokrasi kita," tegas Andy.
Menurutnya, jika RUU ini disahkan, hal tersebut akan bertentangan dengan Undang-Undang Pertahanan Nasional yang telah ada.
"Malam ini, kami berdiskusi dengan mahasiswa, LSM, dan perwakilan masyarakat untuk mengambil sikap bersama. Prabowo (Presiden) tidak hanya membawa gaya atau atmosfer militer, tetapi juga membawa instrumen regulasi yang memungkinkan militer memegang kendali atas republik ini," ujarnya.
Andy menegaskan bahwa revisi UU TNI harus dicegah dan ditolak. "Jika ini disahkan, kita akan mundur 30 tahun ke belakang, persis seperti sebelum era reformasi. Ini harus dihentikan," tegasnya.
Oleh karena itu, Kontras bersama mahasiswa dan aktivis akan menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Negara Grahadi, Kamis (20/3) siang.
Menyikapi bantahan dari para perwira tinggi militer yang menyatakan bahwa revisi UU TNI bukan untuk mengembalikan Dwi Fungsi ABRI, Andy secara tegas membantah klaim tersebut.
"Itu retorika yang menyesatkan. Seolah-olah mereka menganggap kita bodoh dan tidak paham konsekuensi logis dari RUU ini jika menjadi undang-undang," jelasnya.
Andy menambahkan bahwa TNI seharusnya fokus pada tugas pokoknya sebagai institusi pertahanan, bukan mencari pekerjaan di ranah sipil.
"Kita punya banyak masalah, seperti postur militer, anggaran, dan alutsista yang terbelakang. Namun, RUU ini tidak menjawab masalah-masalah strategis tersebut. Justru, RUU ini membuka peluang TNI masuk ke ranah sipil, mengotak-atik hal-hal yang bukan wewenangnya," imbuhnya.
Lebih lanjut, Andy menegaskan bahwa perwira militer dididik di Akademi Militer (AKMIL) untuk menjadi profesional di bidang pertahanan, bukan untuk menduduki jabatan sipil.
"Jenderal atau kolonel bekerja di BNN, Badan Siber, atau pemerintah daerah. Mereka dididik sebagai militer, bukan untuk mengisi posisi sipil," pungkas Andy.
Diskusi ini menegaskan bahwa RUU TNI dinilai sebagai ancaman serius terhadap demokrasi Indonesia. Jika tidak dihentikan, revisi ini berpotensi mengembalikan Indonesia ke era otoritarianisme sebelum reformasi 1998.
Editor : Ali Masduki