SURABAYA - Ibadah umrah, yang seharusnya menjadi momen suci dan penuh makna, kini ternodai oleh praktik penyelenggaraan umrah nonresmi. Fenomena ini semakin merebak dalam beberapa tahun terakhir, di mana individu atau kelompok menyelenggarakan umrah tanpa izin resmi, seringkali dengan iming-iming "umrah mandiri" atau "backpacker" yang terkesan murah dan fleksibel.
"Fenomena ini memang tampak sederhana dan menggiurkan," ujar Ulul Albab, Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI. Namun, sejatinya praktik ini mengandung sejumlah masalah serius yang patut menjadi perhatian bersama.
Penyelenggaraan umrah nonresmi jelas melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang secara eksplisit menyatakan bahwa hanya Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) berizin yang boleh menyelenggarakan layanan umrah.
"Sayangnya, meski aturan ini jelas, penegakan hukumnya justru tumpul terhadap pelanggar ilegal, namun terasa tajam kepada PPIU resmi," ungkap Ulul Albab.
"Sering kali, kesalahan administratif kecil saja membuat PPIU resmi diblokir dari sistem Siskopatuh, sementara para pelaku ilegal justru bebas beroperasi tanpa pengawasan berarti," sambungnya.
Praktik ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan risiko besar bagi jamaah. Tidak ada jaminan perlindungan hukum jika terjadi penipuan, gagal berangkat, atau ketidakpastian layanan di Tanah Suci.
"Banyak jamaah akhirnya terlantar, kehilangan hak-haknya, bahkan tidak dapat menjalankan ibadah dengan sempurna," tambahnya.
Masalah lain yang mencolok adalah tidak adanya pembimbing ibadah resmi. Akibatnya, banyak jamaah kebingungan dalam menjalankan rukun umrah, bahkan tidak memahami makna spiritual ibadah itu sendiri.
"Ini jelas menyimpang dari tujuan ibadah umrah sebagai sarana penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah SWT," tegas Ulul Albab.
Untuk itu Ulul Albab menyerukan bahwa sudah saatnya pemerintah menunjukkan keadilan dalam pengawasan dan penegakan hukum. Ia juga menekankan bahwa penegakan regulasi jangan hanya menyasar penyelenggara resmi yang telah mengikuti seluruh prosedur, tetapi juga secara tegas menindak mereka yang melanggar hukum atas nama umrah mandiri.
Ulul Albab juga mengajak masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih penyelenggara umrah. "Jangan tergiur harga murah atau tawaran 'jalan-jalan spiritual' yang tidak jelas asal-usul penyelenggaranya. Ibadah umrah bukan sekadar perjalanan wisata, tetapi perintah suci yang membutuhkan niat tulus dan tata cara yang benar sesuai syariat dan regulasi," tuturnya.
Pihaknya juga mengajak seluruh asosiasi penyelenggara umrah di Indonesia untuk bersatu. "Jika perlu, menyampaikan mosi tidak percaya kepada pemerintah atas lemahnya pengawasan terhadap penyelenggara ilegal. Jangan sampai keberadaan PPIU resmi yang telah taat aturan menjadi sia-sia karena longgarnya sistem pengawasan terhadap pelaku di luar regulasi," terangnya.
Fenomena umrah nonresmi bukan hanya tentang pelanggaran hukum, tetapi juga ujian moralitas publik. Menurut Ulul, tidak boleh membiarkan aktivitas ibadah menjadi ladang pelanggaran dan eksploitasi.
Kata dia, ibadah yang suci harus dijalankan secara benar, aman, dan sesuai aturan. Ini bukan semata soal legalitas administratif, tetapi tentang melindungi martabat umat dan kesucian syiar Islam.
"Semoga ke depan, negara hadir dengan tegas dan adil. Dan semoga masyarakat semakin cerdas dalam memilih jalan ibadah yang sah, aman, dan berkah," tandasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait