Jika Data Dijual, Bisakah Jadi Jalan Impeachment?
Jika seseorang meretas data warga tanpa izin, itu pelanggaran. Namun bagaimana jika Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan menyetujui perjanjian transfer data pribadi ke asing tanpa perlindungan yang memadai? Apakah ini bisa dikualifikasi sebagai pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat atau perbuatan tercela—yang menurut Pasal 7A UUD 1945 menjadi salah satu dasar impeachment?
Tentu, jika kesepakatan AS dengan Indonesia tersebut benar, tidak serta-merta menjadikan Presiden layak diimpeachment. Namun setidaknya, hal tersebut dapat menjadi pintu Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR terkait kebijakan perdagangan Indonesia dengan AS. Karena, konstitusi bukan sekadar bicara soal akibat langsung, tapi juga soal proses perlindungan hak-hak konstitusional warna negara yang harus dijaga oleh pemerintah.
Dari sudut pandang hukum tata negara, komitmen unilateral eksekutif untuk mentransfer data pribadi ke entitas asing tanpa perlindungan yang memadai dan tanpa persetujuan DPR memuat dua pelanggaran mendasar:
Pertama, dalam era digital, data pribadi adalah perpanjangan dari eksistensi hak sipil. Data di era ini, bukan hanya sekadar informasi, tetapi citra digital diri: dari biometrik, riwayat kesehatan, hingga transaksi ekonomi. Ketika negara membuka pintu transfer data ke luar negeri tanpa jaminan perlindungan setara sebagaimana disyaratkan Pasal 56 UU PDP, maka yang terjadi bukan hanya kelalaian administratif, tetapi potensi "perampasan" hak konstitusional warga negara oleh negara lain.
Hingga hari ini, tidak ada satu pun ketentuan yang menyebut bahwa AS adalah negara dengan standar perlindungan data yang “setara atau lebih tinggi” dari UU PDP Indonesia. Maka, jika data pribadi warga ditransfer tanpa mekanisme perlindungan memadai atau tanpa persetujuan eksplisit dari subjek data, berarti pemerintah telah menabrak rasionalitas legislasi UU PDP sendiri, dan secara substantif, melanggar jaminan konstitusi atas privasi dan kepemilikan warga sebagaiman dijamin dalam Pasal 28G jo Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Kedua, Presiden memang berhak untuk melakukan perjanjian internasional. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, mengatur bahwa presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat harus dengan persetujuan DPR.
Pasal 10 huruf (c) dan (d). UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mempertegas bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan kedaulatan harus disahkan dengan undang-undang, bukan sekadar kesepakatan pihak eksekutif.
Kesepakatan untuk membuka keran transfer data pribadi ke entitas asing—jelas memenuhi syarat sebagai “perjanjian yang berdampak luas dan mendasar”. Jika kesepakatan itu dilakukan tanpa partisipasi legislatif, maka produk hukum internasional tersebut cacat secara konstitusional dan tidak memiliki legalitas secara yuridis.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
