Data Pribadi Bukan Komoditas Perdagangan Digital, Tapi Hak Privasi Warga Negara

Arif Ardliyanto
Dr. Hufron., S.H., M.H. Dosen Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Foto iNewsSurabaya/arif

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Gedung Putih, Amerika Serikat (AS) baru-baru ini merilis pernyataan resmi terkait kesepakatan tarif timbal balik dengan Indonesia. Dalam perjanjian perdagangan timbal balik (agreement on Reciprocal Trade), beberapa poin di antaranya Indonesia sepakat untuk melakukan perdagangan digital. Dalam frasa “Indonesia will provide certainty regarding the ability to transfer personal data out of its territory to the US”, Indonesia bakal memberi kepastian untuk transfer data pribadi ke AS.

Data pribadi warga negara Indonesia kini menjadi bagian dari transaksi perdagangan global. Dalam paket kesepakatan itu, Presiden Trump dalam pernyataan resminya mengatakan ini sebagai kemenangan besar bagi semua warga Amerika. Walaupun di sisi lain, Indonesia mendapatkan konsesi tarif impor dari 32% menjadi 19%, tetapi harga politik yang harus dibayarkan bukan sekadar soal ekonomi, melainkan hak konstitusional warga negara atas perlindungan data pribadi. 

Narasi perdagangan digital ini tidak berdiri sendiri. Ia disusun secara sistematis melalui penghapusan hambatan tarif atas produk-produk intangible, pencabutan kewajiban deklarasi impor elektronik, hingga pengakuan AS sebagai negara yang memiliki standar perlindungan data “memadai”. 

Sayangnya, klaim tersebut bertentangan dengan semangat konstitusional dalam Pasal 28G jo Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945. Konstitusi mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Di sisi lain, hak milik pribadi tidak boleh diambil-alih atau dirampas secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Dalam Pasal 56 UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), mengatur tiga syarat transfer data keluar yurisdiksi Indonesia: (1) negara tujuan memiliki standar perlindungan setara atau lebih tinggi dari standar Indonesia; (2) jika tidak setara, diwajibkan ada mekanisme pengamanan secara hukum; (3) jika kedua syarat tidak terpenuhi, subjek data harus memberikan persetujuan secara jelas dan tegas.

Tiga tingkatan syarat tersebut mencerminkan prinsip kehati-hatian dalam tata kelola transfer data ke luar yurisdiksi wilayah Indonesia. Dan inilah yang disebut sebagai ratio legis dari keberadaan Pasal 56 UU PDP, yakni mencegah kekuasaan negara atau korporasi memperlakukan data pribadi layaknya komoditas bebas nilai etik.

Editor : Arif Ardliyanto

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network