Susilo juga menyoroti tindakan Christea, yang mengklaim diri sebagai ketua baru berdasarkan Akta No. 11 Tanggal 16 Juli 2025. Menurutnya, akta tersebut tidak sah secara hukum, karena merujuk pada Akta No. 1 Tahun 2018 yang pengesahannya telah dibatalkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 195 K/TUN/2019.
“Akta itu dibuat dengan dasar hukum yang sudah batal. Notaris yang membuatnya pun tidak mengacu pada amar putusan, padahal amar putusan adalah satu-satunya dasar eksekutorial yang sah,” jelasnya.
Susilo menegaskan, pernyataan Christea yang menyebut beberapa akta lama masih berlaku dinilai menyesatkan publik. Sebab, putusan-putusan pengadilan yang diklaim sebagai dasar hukum tidak menyebutkan hal tersebut dalam amar putusannya.
Lebih jauh, Susilo menyebut tindakan Christea bisa dikategorikan sebagai dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu dalam akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP.
Selain itu, upaya Christea yang menduduki kantor PPLP-PT PGRI Malang secara paksa dinilai sebagai tindakan yang tidak pantas. “Kami melihat ini bentuk tindakan premanisme. Pihak kami sedang menempuh langkah hukum untuk melindungi hak-hak klien,” ujarnya.
Meski polemik hukum terus bergulir, Christea justru menyampaikan nada damai ketika ditemui di kediamannya. Ia berharap konflik ini bisa berakhir dengan baik.
“Saya hanya ingin damai. Tapi saya juga akan tetap berada di kantor itu, karena menurut saya itu warisan dari para pendiri yayasan,” ucap Christea dengan nada tenang.
Pernyataan itu membuka secercah harapan baru di tengah panasnya konflik yang sempat menegangkan dunia akademik Malang. Publik berharap, langkah hukum yang sedang ditempuh bisa menjadi akhir dari kisruh panjang yang membayangi Unikama selama ini.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
