Sementara itu, Marciana Dominika Jone dari BPHN mengungkap beberapa isu penting hasil analisis awal tim. Salah satunya adalah masih maraknya penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di luar pengadilan, yang melanggar Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan berpotensi mencederai rasa keadilan bagi korban.
Ia juga menyoroti pemenuhan hak korban, termasuk restitusi, yang dinilai belum optimal akibat prosedur yang rumit, ketidakjelasan sumber dana, dan kurangnya perhatian aparat terhadap penyitaan aset pelaku.
“Perlindungan anak melalui UPTD PPA pun belum maksimal karena keterbatasan SDM, psikolog, dan pendamping hukum di banyak daerah,” jelas Marciana.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa sejak 1 Januari hingga 16 Oktober 2025, terdapat 25.194 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Jawa Timur menempati posisi kedua tertinggi dengan 2.113 kasus, di bawah Jawa Barat.
Marciana menegaskan, kegiatan ini merupakan bagian dari review nasional terhadap peraturan perundang-undangan sesuai arahan Presiden untuk memastikan hukum hadir sebagai solusi bagi perlindungan perempuan dan anak.
“Lex Semper Dabit Remedium hukum harus selalu memberikan obat dan solusi,” tegasnya.
FGD tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi awal yang akan disusun lebih lanjut oleh Tim Kerja BPHN sebagai dasar kebijakan hukum nasional berperspektif gender dan berpihak pada korban.
Sinergi antara BPHN, Kanwil Kemenkumham Jatim, aparat penegak hukum, akademisi, dan lembaga masyarakat diharapkan mampu memperkuat sistem hukum yang lebih responsif, adil, dan berpihak pada korban kekerasan. Forum ini juga menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran hukum dan menanamkan perspektif gender dalam setiap aspek kebijakan nasional.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
