Untuk diketahui, dalam ekspedisi ini Tim Kopassus terbagi dalam dua kelompok pendakian, yakni jalur utara dan selatan. Iwan memimpin tim di jalur selatan. Bersamanya antara lain Sertu Misirin dan Pratu Asmujiono.
Mendaki Everest, kata dia, bak pertaruhan hidup dan mati. “Bayangkan suhu minus 50 derajat Celcius. Sepanjang jalan banyak orang-orang meninggal,” tuturnya.
Perjalanan itu tak hanya sulit, tetapi mencekam. Pada ketinggian 8.500 meter dari permukaan laut, Iwan terjatuh kehabisan oksigen. Dalam bekapan cuaca sangat ekstrem yakni suhu minus 50 derajat Celcius di ketinggian 8.500 mdpl dengan tanah berpijak merupakan salju, Iwan limbung. Tanpa matras, juga tak ada sleeping bag. "Saya kehabisan oksigen, antara hidup dan tidak,” tuturnya.
Dalam situasi kritis itu Iwan berdoa kepada Tuhan agar diberikan keselamatan untuk dapat menyelesaikan tugas dan kembali ke Tanah Air. Bayang-bayang istri yang sedang hamil menumbuhkan semangatnya. Dalam kondisi yang dapat disebut titik nadir itu, Iwan tak menyerah.
Dia bangkit dan bertekad untuk mencapai puncak. Doa itu terkabul. Setapak demi setapak dia terus melangkah. Akhirnya, bersama Asmujiono dan Misrin, Iwan mencatatkan sejarah emas. Tepat 26 April 1997, mereka mengibarkan Merah Putih di puncak dunia. “Itu sangat-sangat mengharukan, dan saya sangat-sangat, betul-betul…,” tutur Iwan tercekat.
“Saya betul-betul bersyukur. Bisa selamat di sana dan bisa kembali.”
Brigjen Iwan Setiawan, sekarang resmi sebagai pemegang tongkat komando pasukan elite Korps Baret Merah yang pernah taklukan gunung everest
Pengalaman mencium puncak Everest itu tak akan pernah dilupakannya. Atas kesuksesan dalam ekspedisi bersejarah ini, dia menamai putranya dengan nama gunung yang menjadi magnet bagi pendaki di seluruh dunia itu. Sang anak itu diberi nama: Arya Everest Setiawan.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait