SURABAYA, iNews.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU Narkotika terkait penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Penolakan ini diputuskan pada Rabu (20/7/2022).
Putusan MK tersebut dinilai dapat menghambat akses warga negara terhadap kesehatan.
Hal ini disampaikan oleh Victor Imanuel Nalle, pengamat hukum dari Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya dan Manuel Simbolon, advokat SSMP Law Firm.
Argumen Mahkamah Konstitusi bahwa pemanfaatan narkotika golongan I membutuhkan persiapan struktur dan budaya hukum yang memadai dikritik oleh Victor.
“Di satu sisi MK mengatakan perlu kajian ilmiah yang mendalam tetapi di sisi lain juga mengakui bahwa sejumlah negara telah berhasil memanfaatkan narkotika untuk pelayanan kesehatan. Secara tidak langsung, MK meragukan kajian ilmiah yang melandasi pemanfaatan narkotika di negara-negara itu,” ujar Victor.
Menurut Victor, putusan tersebut menunjukkan kecenderungan MK untuk membatasi diri dalam isu-isu kontroversial dan menyerahkannya menjadi perdebatan di parlemen. Ini berkebalikan dari kecenderungan judicial activism di periode-periode sebelumnya.
Kehati-hatian ini, menurut Victor, dapat menghambat akses terhadap keadilan karena panjangnya proses legislasi jika bergantung pada revisi UU Narkotika.
“Proses legislasi yang cepat cenderung hanya terjadi dalam RUU yang terkait langsung dengan ekonomi sehingga legalisasi ganja lewat revisi UU Narkotika tampaknya berat dan panjang,” pungkas Victor.
Nada yang sama juga disampaikan oleh Manuel Simbolon. Menurut Manuel dalam proses persidangan terlihat jika majelis hakim MK sebenarnya sangat memahami apa yang menjadi urgensi uji materi dari para Pemohon.
“Ketika pemeriksaan ahli sebenarnya MK sudah sangat paham banyaknya penelitian yang membuktikan bahwa narkotika golongan I, khususnya ganja, memiliki manfaat yang positif untuk medis. Selain itu, di negara-negara lain, ganja juga sudah dilegalkan untuk kebutuhan medis. Namun demikian, putusan MK hari ini seolah-olah mengabaikan fakta-fakta itu,” kritik Manuel.
Argumen MK menurut Manuel menunjukkan bahwa MK terlalu berhati-hati.
“Dengan mengatakan bahwa infrastruktur dan budaya hukum kita belum siap, justru menunjukkan bahwa pemerintah telah lama abai terhadap persoalan ini. Selain itu, kekhawatiran MK tentang adanya dampak yang lebih luas terhadap penyalahgunaan narkotika golongan I jika dilegalkan untuk medis sebenarnya juga tidak didasarkan pada hasil riset. Hal ini menunjukkan bahwa putusan MK jauh dari Judicial Activism yang selama ini kerap ditunjukkan dalam putusan-putusannya.”
Walaupun MK menolak permohonan ini, namun Manuel berharap agar pemerintah dapat segera melakukan riset untuk ganja medis.
“Dalam putusannya MK mendorong pemerintah untuk melakukan riset mengenai ganja medis. Pemerintah harus segera melaksanakan ini, agar kita memiliki dasar ilmiah yang kuat untuk mengatur pemanfaatan ganja medis,” pungkas Manuel.
Editor : Ali Masduki