SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Sektor industri menghasilkan berbagai larutan limbah yang mana 80 persennya dibuang tanpa pengolahan tepat. Salah satu penyebabnya adalah kegagalan dalam mengidentifikasi kandungan limbah tersebut.
Berangkat dari permasalahan ini, tim mahasiswa dari Insitut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengembangkan sebuah inovasi baru berupa Spektrometer Pentakromatik.
Tim ini mengembangkan Spektrometer Pentakromatik dengan jaringan syaraf tiruan untuk identifikasi polutan organik dan anorganik dalam air limbah industri. Untuk dapat mengolah larutan limbah tersebut, kandungannya perlu diidentifikasi terlebih dahulu agar proses pengolahan yang tepat dapat ditentukan.
Oleh sebab itu, alat seperti spektrometer pentakromatik ini diperlukan supaya dapat mengidentifikasi kandungan larutan limbah dengan cepat dan akurat.
Salah satu anggota tim, Safri Aulia Rusdi, menjelaskan bahwa spektrometer pentakromatik ini bekerja dengan cara menentukan absorbansi cahaya tampak oleh suatu larutan. Dengan mengetahui absorbansi cahayanya, kandungan larutan tersebut dapat ditentukan.
“Limbah saat diuji dengan spektrometer ini akan menghasilkan suatu spektrum absorbansi,” papar mahasiswa yang akrab dipanggil Rusdi ini.
Cahaya tampak yang dimaksud adalah cahaya yang dapat dilihat oleh mata telanjang manusia dengan panjang gelombang antara 380 sampai dengan 750 nanometer.
Untuk alat ini, cahaya dipancarkan oleh lima lampu LED dengan warna yang berbeda-beda, yaitu ungu, hijau, biru, kuning, dan merah.
Untuk menggunakan alat ini, lanjut Rusdi, pertama-tama larutan diletakkan di sebuah kuvet dan dimasukkan ke dalam alat. Lalu, cahaya dari lima lampu LED dipancarkan melalui larutan limbah sehingga sebagian dari cahaya tersebut diabsorpsi oleh larutan.
“Nilai absorbansi tersebut lalu ditentukan oleh sebuah detektor menggunakan prinsip hukum Lambert-Beer,” terang Rusdi lagi.
Setiap larutan akan memiliki tingkat absorbansi yang unik terhadap lima warna yang dipancarkan. Seperti contoh, jika sebuah larutan mengabsorpsi cahaya merah yang berlebihan, maka tingkat absorbansi cahaya merah tersebut akan memiliki nilai yang tinggi dan begitu pula sebaliknya.
Tahap terakhir dari proses ini adalah memasukkan nilai-nilai absorbansi larutan terhadap semua lima warna cahaya ke dalam sebuah komputer. Komputer ini akan menggunakan algoritma Jaringan Saraf Tiruan Feed Forward Neural Network (JST FFNN) untuk mencocokkan nilai-nilai absorbansi yang telah didapatkan oleh spektrometer pentakromatik dengan database yang telah dibuat sebelumnya.
“Setelah ini, kandungan larutan dapat langsung teridentifikasi,” imbuhnya.
Secara keseluruhan, menurut Rusdi, proses ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan proses menggunakan spektrometer ultraviolet (UV) yang lebih konvensional. Yang pertama, proses ini relatif lebih cepat. Setelah memasukkan kuvet ke dalam alat dan mengambil pengukuran absorbansi cahaya, kandungan larutan dapat ditentukan saat itu juga.
“Proses identifikasi kandungan menggunakan spektrometer UV bisa satu hari atau lebih,” tutur mahasiswa Departemen Teknik Fisika ITS ini.
Tidak hanya itu, dikatakan Rusdi, biaya pembuatan spektrometer pentakromatik ini relatif lebih murah. Secara total, biaya produksi spektrometer pentakromatik hanya berkisar sekitar Rp 2 juta. Biaya ini sudah termasuk keseluruhan komponen dan upah pekerja.
“Spektrometer biasa itu bisa sampai belasan juta rupiah, Rp 14 juta ke atas biasanya,” ucapnya.
Bahkan dengan kelebihan-kelebihan tersebut, Rusdi memaparkan bahwa alat ini masih memiliki potensi pengembangan yang cukup luas. Tingkat keakuratan alat ini dapat ditingkatkan lebih lanjut dengan cara memperbaiki algoritma JST FFNN beserta database-nya.
Tidak hanya itu, kuvet yang digunakan sebagai tempat penampung larutan dapat dihubungkan secara langsung dengan saluran air limbah agar proses identifikasi limbah dapat dilakukan secara lebih cepat lagi.
Berkat kerja keras seluruh anggota tim yang dibimbing oleh dosen Departemen Fisika ITS Dr rer nat Ruri Agung Wahyuono ST MT, spektrometer pentakromatik ini dapat dikembangkan dengan sukses.
Alhasil, tim Program Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta (PKM-KC) ini membantu menyukseskan ITS meraih peringkat III di ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-35 dengan mendapatkan medali emas dan perunggu pada kelas Poster dan Presentasi.
Editor : Ali Masduki