SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Ratusan anak di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur mengajukan nikah dini. Tercatat, ada sebanyak 198 anak mengajuan dispensasi agar bisa kawin usia anak di Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Pengajuan dispensasi pernikahan tersebut didominasi oleh hamil di luar nikah.
Fenomena nikah usia anak di Ponorogo tersebut menjadi catatan penting bagi pemerintah, khususnya Provinsi Jawa Timur.
Laporan badan pusat statistik (BPS) tahun 2020 menyebutkan bahwa 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun, yaitu sebesar 1,2 juta jiwa.
Menanggapi hal tersebut, dosen bidang kependudukan dan kesehatan reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Lutfi Agus Salim SKM MSi memberikan tanggapan.
Ia berpendapat bahwa saat ini angka perkawinan anak di Indonesia masih tergolong tinggi.
“Jika dilihat berdasarkan angka absolut kejadian perkawinan usia anaknya, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah adalah tiga provinsi yang paling tinggi,” katanya.
Ketua Koalisi Kependudukan Provinsi Jawa Timur inipun mengungkap faktor penyebab kejadian perkawinan usia anak.
Menurutnya, perkawinan anak terjadi bisa disebabkan oleh empat faktor utama. Di antaranya faktor pendidikan, pemahaman agama yang sempit, ekonomi, dan sosial budaya.
Lutfi juga menjelaskan bahwa kenaikan angka perkawinan anak di Ponorogo bisa saja disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Remaja mencoba melakukan aktivitas seksual di masa berpacaran dengan pasangannya, sehingga mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan akhirnya terpaksa terjadi pernikahan anak.
Perkawinan anak cenderung berdampak pada pihak perempuan. Secara umum, dampak yang timbul antara lain dampak pendidikan, ekonomi, psikologi, dan kesehatan. Terlebih jika melihat kasus yang ada di Ponorogo yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan tentu akan berdampak pada segi kesehatan.
“Menikah muda berisiko tidak siap melahirkan dan merawat anak, berisiko kelahiran prematur, anak yang dilahirkan stunting, dan bisa membahayakan keselamatan bayi dan ibunya sampai pada kematian. Perkawinan anak juga mempunyai potensi terjadinya kekerasan seksual dan gangguan kesehatan reproduksi,” jelas Lutfi.
Untuk mencegah perkawinan usia anak, menurut Lutfi diperlukan penegakan UU Nomor 16 tahun 2019 tentang batasan usia minimum pernikahan, yaitu 19 tahun dengan tindakan serius seperti penyediaan akses yang sama ke pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas untuk anak perempuan dan laki-laki terutama dalam membahas edukasi seks sejak dini.
“Pemberdayaan anak perempuan secara komprehensif melalui sumber daya pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Termasuk dengan memungkinkan penyediaan informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi,” tandasnya.
Editor : Ali Masduki