SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Miris, 6 lanjut usia (lansia) bakal diusir secara paksa oleh Jurusita Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis (10/8/2023) dari rumahnya.
Mereka adalah Felix George Umboh (73), Grace Oriana Umboh (72), Ivonne Venny Vivian Umboh (70), Maureen C Umboh (69), Jefferson Thomas Umboh (65) dan Franklin Benjamin Umboh (63). Keenamnya merupakan anak dari Olga Umboh Jacob yang telah meninggal dunia pada 2011.
Data dan informasi yang diperoleh di lapangan menyebutkan, rumah dan tanah seluas 322 m² di Jalan Teuku Umar Nomor 18 Surabaya itu bakal dieksekusi. Tepatnya, pada Kamis (10/8/2023) mendatang.
Keenamnya kompak mengaku sudah menghuni dan diwarisi rumah sejak 1965. Selama 58 tahun itu pula, ada pelbagai kenangan dan kehangatan keluarga yang berbaur menjadi satu.
Namun, hal itu diprediksi bakal sirna lantaran rumahnya akan dieksekusi Jurusita PN Surabaya. Hal itu terjadi usai Pemohon Eksekusi, BS mendapat putusan yang diduga merupakan suami dari seorang notaris di Surabaya.
Penasihat hukum para 5 saudara Felix, Hizbul Maulana mengatakan Felix sempat dilaporkan ke polisi terkait dugaan penyerobotan lahan. Tapi, sampai kasasi, Felix dinyatakan tidak terbukti bersalah atau Niet Ontvankelijke (NO).
Ia menegaskan, para lansia, termasuk Felix, adalah ahli waris asli dari Olga Umboh Jacob yang notabene selaku pemilik objek sengketa.
Menurutnya, hal itu berdasarkan Surat Izin Sementara Nomor : 636/IX/1965 29 September 1965, yang diperoleh setelah mencabut Surat Izin Kepala Rumah Nomor: 297/KR/62, 24 April 1962 atas nama Hilda Altje Pinontoan Pussung.
Kata dia, dalam Surat Izin Kepala Rumah (SIKR) itu, termaktub pemilik rumah adalah N.V Bouw Mij Atlas, Jalan Sasak Nomor 69 Surabaya, dengan kuasa Ali Ba'agil, Jalan Rajawali Nomor 1 Surabaya.
"Kepada penghuni sebelumnya (Hilda Altje Pinontoan Pussung), di tahun 1965, almarhum Bu Olga sudah memberi ganti rugi sebesar Rp 24 juta," kata Hizbul saat dikonfirmasi, Senin (07/8/2023).
Pengacara dari H and A Law Office itu menjelaskan, perselisihan mengenai hak atas objek itu sendiri terjadi pada 1995 silam. Kala itu, Olga mengajukan permohonan perpanjangan SIKR.
Tapi, pada 4 dan 11 Mei 2010, surat panggilan dari Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Pemerintah Kota Surabaya yang ditujukan kepada Olga justru ia dapatkan. Namun, karena berusia lanjut, Felix selaku anak tertua mewakili Olga mendatangi surat panggilan tersebut.
"Disampaikan, bahwa per 15 April 2010 Pemkot Surabaya memblokir Surat Ijin Perumahan (SIP) atas objek sengketa tersebut," jelasnya.
Hizbul menerangkan, pemblokiran itu berdasarkan permohonan dari BS. Ia menganggap, BS berdalih bahwa sudah membeli objek itu atas alas hak SHGB Nomor 971 dengan nama pemilik Hajjah Noorjasni.
Sementara, jual beli itu tertuang dalam akta dengan nomer 61/2009, tanggal 8 Desember 2009 yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, A. A. Andi Prajitno.
Pada 12 Februari 2010, SHGB itu dibalik nama menjadi nama BS. Namun, pihak Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Pemkot Surabaya saat itu justru memberikan penawaran dari BS untuk memberi pesangon Rp 400 juta.
"Agar mengosongkan objek sengketa, namun keluarga menolaknya," ujarnya.
Sontak, Felix dan kelima saudaranya menolak mentah-mentah. Hal itu pun dibenarkan anak bungsu Olga, Benjamin Franklin. Ia berharap mendapat keadilan.
"Rumah ini adalah warisan turun temurun yang kami tempati. Kami mohon keadilan, batalkan eksekusinya. Ini rumah warisan yang keluarga kami tempati," ungkapnya.
"Kalau dieksekusi, kami tinggal dimana? 58 tahun sudah kami sekeluarga tinggal disini," lanjut dia.
Ketika disinggung tentang eksekusi yang bakal dilaksanakan PN Surabaya, ia menegaskan telah melakukan upaya hukum melalui pengacaranya. Yakni berupa gugatan perlawanan yang kini masih dalam tahap kasasi.
Lalu, ia menunjukkan memori kasasi dan surat permohonan penangguhan eksekusi. Ia lantas mengaku sangat heran lantaran ada pelbagai kejanggalan.
Diantaranya akta jual beli antara Noorjasni. Ia mengaku tak tahu menahu apa dasar dari akta jual beli itu.
"Dia bukan pihak yang menguasai objek yang ditempati klien kami, kok tiba-tiba muncul SHGB atas namanya. Itu dasarnya apa? tidak ada sidang PS (pemeriksaan Setempat) waktu gugatan terhadap Felix," ucapnya.
Tak hanya itu, ketika pemohon eksekusi mengajukan gugatan, ia juga mempertanyakan perihal pihak yang digugat. Ia dan keluarga terkejut lantaran hanya Felix yang digugat di dalam gugatan itu.
Seharusnya, sambung dia, ketika mengajukan gugatan, harus keenam penghuni sekaligus. Terlebih, ia menambahkan, pidana yang dilaporkan tersebut tidak terbukti bahwa Felix melakukan penyerobotan lahan.
"Setidaknya pelaksanaan eksekusi bisa ditangguhkan, masih ada upaya hukum yang belum Inkracht,” ungkapnya.
Terpisah, Humas PN Surabaya Anak Agung Gede Agung Pranata membenarkan rencana pelaksanaan eksekusi rumah tersebut. Menurutnya, pihaknya tetap bakal melakukan eksekusi sesuai jadwal tersebut.
"Benar, Mas, jadwal eksekusi terlampir pada Kamis (10/8/2023) pagi yang akan dilakukan oleh jurusita," tutupnya.
Editor : Ali Masduki