Menurutnya, kekuasaan itu memang laksana candu sehingga para penguasa cenderung untuk mempertahankannya dengan berbagai cara. Namun, bagi para negarawan kekuasaan itu hanyalah medium pengabdian yang terbatas ruang dan waktu.
“Jadi sebenarnya tak ada yg harus dipertahankan dengan mati matian, dengan cara-cara yang melawan kepatutan dan kepantasan publik,” kata Surokim.
Dia mengatakan, kekuasaan dalam keyakinan para pengabdi sejatinya lebih banyak dianggap sebagai medium latihan, cobaan dan hakikatnya uji konsistensi para pejabat terhadap virtue public (kebajikan public).
“Manakala dalam menjalankan kekuasaan itu masih menggunakan logika dan istiqomah memperjuangkan virtue public maka kuasa itu biasanya amanah dan maslahah. Demikian juga sebaliknya. Kita semua berharap Pak Jokowi bisa istiqomah berada kembali dalam mata dan hati rakyatnya,”pungkasnya.
Menurutnya, pada akhir sesi periode pemerintahannya Presiden Jokowi mulai menjauhi virtue public sehingga kian sulit menjaga jarak dengan kekuatan-kekuatan pragmatis yang dulu pernah dia lawan. Hal itulah yang membuat Presiden Jokowi gamang memahami esensi virtue publik.
Dia menambahkan, harus ada yang mengingatkan Presiden Jokowi agar bisa kembali istiqomah dalam menjaga nalar kekuasaan pro-publik. Kembali lagi pada logika kekuasaan bersama wong cilik, bersama nalar publik dan tidak berada dalam zona nyaman memandang kekuasaan sebagai instrumen pribadi dan keluarga.
“Pak Jokowi sebagai anak kandung reformasi harus kembali ke esensi perjuangan reformasi dan jangan ikut arus pada perjuangan nilai yang bertentangan dengan semangat reformasi,” imbuhnya.
Editor : Arif Ardliyanto