JAKARTA, iNewsSurabaya.id -
Hari ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan hasil ujian materi terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Kasus ini muncul setelah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama, Brahma Aryana, menggugat batas usia Capres Cawapres 40 tahun dan pengalaman sebagai kepala daerah.
Sidang digelar pukul 11.00 WIB di Gedung MKRI lantai 2, dengan agenda utama adalah "Pengucapan Putusan," seperti yang diinformasikan oleh situs MK. Dalam permohonannya, Brahma mengusulkan perubahan pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang tersebut.
Pertarungan argumen terjadi seputar interpretasi frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah." Brahma menekankan perlunya klarifikasi bahwa batasan usia 40 tahun hanya berlaku bagi kandidat yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi.
Perbedaan pandangan muncul di antara hakim MK, di mana 5 hakim mendukung perubahan tersebut, dengan tiga hakim lainnya tidak sepakat. Brahma menegaskan ketidaksahan putusan tersebut, merinci bahwa hanya 3 hakim dari 5 yang setuju, membuatnya dianggap inkonstitusional.
Kontroversi semakin memuncak dengan pandangan yang berbeda antara hakim MK, menimbulkan pertanyaan serius terkait validitas keputusan. Kini, publik menanti untuk melihat dampak serta respon pihak terkait terhadap putusan MK yang telah disampaikan.
Dalam permohonannya, Brahma meminta Pasal 169 huruf q undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah.
"Terhadap frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi".
Sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi," jelasnya.
Brahma lantas mempersalahkan jumlah hakim yang sepakat dengan putusan tersebut yakni terdapat 5 Hakim yang sepakat untuk mengabulkan permohonan. Terdapat perbedaan syarat alternatif dalam memaknai Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017.
"3 hakim Konstitusi yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah', 2 hakim Konstitusi yang memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi pada jabatan Gubernur," tulis Brahma dalam permohonannya.
Menurutnya, putusan tersebut tidak memenuhi syarat. Sebab, hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada putusan tersebut di antaranya Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan MP. Sitompul.
"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi'. Yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh," katanya.
Sementara terdapat 4 hakim yang tidak sepakat dengan putusan tersebut yakni Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Artinya, hanya 3 saja yang sepakat dengan putusan tersebut, 4 Hakim tidak setuju dan 2 hakim sepakat kalau dengan frasa pengalaman jadi kepala daerah minimal tingkat Provinsi. Brahma pun menegaskan bahwa putusan tersebut tidak sah atau inkonstitusional.
"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara Hakim Konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.
Editor : Arif Ardliyanto