get app
inews
Aa Read Next : Rayakan 70 Tahun Diplomasi Indonesia-Finlandia, Nola Learning Center Gelar Acara JOY of LEARNING

Sejarah Sapta Darma dan Cara Bertahan di Surabaya

Rabu, 16 Februari 2022 | 08:57 WIB
header img
Proses peribadatan Sapta Darma di Surabaya dengan sumeleh pada sang pencipta

SURABAYA, iNews.id – Aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berkembang di Indonesia. Salah satu diantaranya, Sapta Darma yang mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1952.

Ajaran ini disebarkan warga Kediri bernama, Hardjosapoera. Di Surabaya, kerohanian ini dianut sekitar 5000 pengikut. Meski demikian, pengikut ajaran ini rutin menggelar peribadatan untuk mendekatkan diri kepada yang maha kuasa.

Di Surabaya, lokasi peribadatan Sapta Darma dilakukan di Jalan Jemursari Selatan VI Nomor 35, Kecamatan Wonocolo, Kota Surabaya. Tempat itu bernama Sanggar Candi Busana. Untuk menemukannya tidaklah sulit, selain berdekatan dengan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jemursari, bentuk bangunan berupa pendopo dengan pintu utama gapura juga menjadi ciri khas.

Sebagai penanda, di halaman sanggar terdapat patung semar kelir putih menghadap ke arah timur. Posisi sanggar juga gampang ditemukan lantaran terletak paling ujung komplek pemukiman berjarak hanya beberapa meter dari Kantor BPB Linmas Pemkot Surabaya.

Jumingan (49), pemuka aliran yang dikenal sebagai Tuntunan Kerohanian Sapta Darma (KSD) Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya menuturkan, Sapta Darma sejatinya adalah agama. Namun oleh negara masih dianggap sebagai budaya kerohanian karena tidak mempunyai nabi dan kitab suci.

Sebab itu, urusan kelompok penghayat ini berada di bawah tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan pada Kementerian Agama. “Karena ketetapan peraturan dari pemerintah adanya Undang-Undang PNPM yang penodaan agama itu kan dasarnya ada nabi, ada kitab. Akhirnya kita milih ke aliran kerohanian. Di dalam aliran kepercayaan itu ada tiga, kebatinan, kejiwaan dan kerohanian. Sapta Darma kerohanian,” ujarnya.

Ia menjelaskan kehadiran Sapta Darma sama seperti agama lain, semata-mata menyelamatkan hidup manusia agar bahagia dunia sampai masa kelanggengan (akhirat). Sapta Darma tidak mengenal nabi lantaran, Hardjosapoera, si penerima wahyu, tidak mau disebut sebagai nabi melainkan Bapa Penuntun Agung Sri Gutama, bermakna Pelopor Budi Luhur.

“Garis besarnya, Sapta Darma itu mengajarkan keluhuran budi. Kalau masalah ritualnya, tata caranya ya mengajarkan panembah kepada Yang Maha Kuasa,” lanjutnya.

Di Surabaya, pegawai salah satu perusahaan pemerintah ini menyebut ada sekitar 1.200 kepala keluarga menganut Sapta Darma, kalau dijumlah kurang lebih sebanyak 5000 pengikut. Umat Sapta Darma menamakan diri sebagai ‘warga’. Mereka biasa berkumpul di 27 sanggar se-Kota Surabaya untuk beribadah, istilahnya sanggaran.

Suatu malam, warga Sapta Darma Sanggar Candi Busana hendak melakukan sujud. Sebuah cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sujud dimulai tepat pukul 20.00 WIB, dengan sikap duduk menghadap ke timur sambil mata terpejam beralaskan kain kafan berukuran satu meter persegi yang direntangkan dengan posisi ketupat.

Tangan bersedekap membentuk simpul pada dada laiknya salat, lengan kanan menutupi lengan kiri. Sedangkan kedua kaki bersila dengan kaki kanan berada di atas.

“Sujud wajib dikerjakan sekali dalam sehari pada waktu senggang. Karena menghadap Allah tidak boleh buru-buru, utamanya malam hari karena kalau siang untuk urusan jasmani. Minimal sehari semalam minimal satu kali, lebih dari sekali lebih utama,” kata Jumingan.

Disela ritual, salah seorang jemaah melantunkan tembang Jawa berjudul Dhandhanggula. Menurut Jumingan, tujuan lantunan ini sebagai sarana mempercepat (meleremkan) pikiran gagasan dan angan-angan atau sumeleh (berserah diri, rela dan ikhlas).

Usai itu, nampak satu persatu dari mereka membungkukkan badan tanpa merubah posisi hingga kening menyentuh permukaan kain kafan. Gerakan ini berulang tiga kali dengan doa berbeda di setiap gerakan.

Waktu masih duduk sebelum bungkukan pertama membaca ‘Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil’. Lalu sujud pertama melafazkan ‘Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa’ sebanyak tiga kali.

Lafaz pada sujud kedua ‘Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapuro Hyang Maha Kuasa’ juga sebanyak tiga kali dan sujud terakhir mengucapkan ‘Hyang Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuasa’ sebanyak tiga kali.

Setelah sujud selesai, satu per satu Warga Sapta Darma kembali menuju ke sayap pendopo untuk bercengkerama sambil menyiapkan sanggaran peringatan malam turunnya wahyu racut yang jatuh di setiap tanggal 13 Februari. Yakni momen ketika Hardjosapoera menerima wahyu kedua berupa pandangan alam abadi setelah kematian atau mati dalam hidup.

 

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut