Karena prestasinya, Visser naik pangkat jadi Letnan. Pemerintah Belanda mengirimnya ke Indonesia ketika Jepang kalah dan Belanda ingin berkuasa kembali. Visser menjadi komandan sekolah terjun payung Belanda di Indonesia dengan pangkat kapten.
Setelah perang usai, Visser yang sejak awal bersimpati pada Indonesia memilih pensiun sebagai serdadu. Dia menikah dengan seorang wanita Sunda, kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Mohammad Idjon Djanbi.
Muhammad Idjon
Sekitar tahun 1952, Komandan Teritorium Siliwangi Kolonel Alex Evert Kawilarang bercita-cita mendirikan sebuah pasukan elite untuk menumpas DI/TII. Saat itu pasukan reguler sulit bergerak lincah di hutan Jawa Barat yang masih sangat lebat. Kawilarang pun memanggil Idjon Djanbi dan memaparkan rencananya, sekaligus meminta Idjon menjadi pelatih. Idjon menerima tawaran itu.
"Ternyata dia terima ajakan kami. Dan kemudian kami atur, sehingga dia bisa mendapat pangkat mayor. Selang beberapa waktu, setelah dia bergaul dengan anggota-anggota kita, dia kelihatan merasa betah," ujar Kawilarang dalam biografi 'Untuk Sang Merah Putih' yang ditulis Ramadhan KH.
Idjon Djanbi menyusun kurikulum berdasarkan pengalamannya selama menjadi pasukan elite dan bertempur di Perang Dunia II. Latihan pasukan yang diberi nama Kesatuan Komando TT III Siliwangi ini sangat berat. Dari 400 calon siswa komando, kurang dari setengah yang dinyatakan lulus.
Kepada mereka yang lulus, diberikan baret dan brevet komando. Ketika itu baret warna hitam dicelup dalam air teh beberapa lama sehingga warnanya luntur menjadi coklat kemerahan. Itulah cikal bakal Korps Baret Merah.
"Tahun 1953 kompi komando ini diikutsertakan dalam operasi-operasi menghancurkan DI/TII di daerah Jawa Barat. Hasilnya sangat memuaskan, terutama pada penyergapan konsentrasi gerombolan di Gunung Rakutak," ujar Kawilarang yang dikutip merdeka.com.
Idjon menjabat komandan tahun 1952-1956, setelah itu dia pensiun dan digantikan wakilnya Mayor RE Djailani.
Editor : Arif Ardliyanto