SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Para tokoh dan akademisi terus menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap vonis yang dijatuhkan kepada mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani Maming, yang dianggap sebagai simbol dari kecenderungan "praduga korupsi" atau presumption of corruption yang berlebihan di Indonesia.
Mardani Maming divonis bersalah dalam kasus dugaan suap terkait izin usaha tambang, namun sejumlah pihak menilai bahwa tindakan yang dilakukan Mardani sebenarnya masih dalam batas kewenangan seorang kepala daerah.
Ketua PW Ansor Jawa Timur, Musaffa Safril, menyatakan bahwa Mardani tidak melanggar prosedur dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala daerah.
"Apa yang dilakukan Mardani Maming menurut kami tidak melanggar aturan. Dia menjalankan tugasnya sesuai dengan kapasitasnya sebagai kepala daerah," ujar Musaffa, Senin (29/10/2024).
Ia mendesak agar Maming dibebaskan untuk memulihkan martabat hukum di Indonesia, serta memperingatkan bahwa putusan ini bisa merusak pemisahan antara tindakan administratif dan tindak pidana korupsi.
Musaffa juga mengkritik tren yang terjadi, di mana setiap tindakan pejabat publik cenderung dianggap sebagai korupsi tanpa peninjauan yang teliti. "Ada kecenderungan untuk memvonis setiap tindakan pejabat sebagai korupsi tanpa telaah mendalam. Ini merusak prinsip keadilan yang seharusnya dipegang teguh," tambahnya.
Musaffa berharap agar Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah tegas untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia dan memberikan keadilan bagi Mardani. Menurutnya, publik perlu kembali memperhatikan asas praduga tak bersalah dan objektivitas dalam penegakan hukum.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh para akademisi. Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH, anggota Tim Asistensi Penyusunan RUU Pemberantasan Tipikor, menekankan bahwa Mardani H. Maming layak dibebaskan karena unsur menerima hadiah dalam dakwaan tidak terbukti.
“Hubungan bisnis seperti fee dan dividen adalah urusan perdata, bukan pidana,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, menyebutkan ada delapan kekeliruan serius dalam proses hukum Mardani, yang menurutnya memperlihatkan adanya kesesatan dalam penerapan hukum.
"Ini bukan sekadar kekhilafan, tapi sebuah kesesatan hukum yang serius," tegas Prof. Romli.
Selain itu, Dr. Hendry Julian Noor S.H., M.Kn, dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan bahwa bukti yang diajukan jaksa tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi. “Tindakan Mardani masih sesuai dengan kewenangannya sebagai kepala daerah,” ucapnya.
Desakan agar Mardani dibebaskan semakin kuat setelah hasil eksaminasi putusan hakim menunjukkan banyak kekhilafan. Dr. Mahrus Ali, pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, menilai bahwa Mardani tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan dan harus dibebaskan demi hukum dan keadilan. "Mengoreksi putusan ini penting, bukan hanya untuk Mardani, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung," ujarnya penuh harap.
Editor : Arif Ardliyanto