ChatGPT dan Masa Depan Kuliah, Apakah Kampus Masih Relevan?

SURABAYA - Perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI) memunculkan pertanyaan mendasar, masih relevankah pendidikan tinggi di era di mana AI mampu mengerjakan berbagai tugas manusia?
Ulul Albab, mantan Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya, menuturkan bahwa lulusan ideal masa depan bukanlah mereka yang mampu mengalahkan AI, melainkan yang mampu berkolaborasi dengannya, sambil tetap mempertahankan esensi kemanusiaan.
"Pertanyaan 'mengapa harus kuliah jika ChatGPT bisa mengerjakan semuanya?' semakin sering muncul," ujarnya.
"Pertanyaan ini bukan hanya dari mahasiswa, tetapi juga dari dosen dan orang tua. AI memang telah mengubah cara kita belajar, bekerja, dan berpikir," sambungnya.
Ketua ICMI Jatim itu mengakui kecepatan dan efisiensi AI dalam berbagai tugas akademik. AI lebih cepat menulis makalah, lebih terstruktur membuat silabus, dan lebih sabar menjawab pertanyaan berulang.
Namun, Ketua Litbang DPP Amphuri ini juga menegaskan bahwa AI tetaplah mesin tanpa hati dan empati.
"AI bisa menjawab, tetapi tidak bisa merasakan, menyelami, atau membimbing dengan empati. Di sinilah peran manusia sebagai makhluk yang berhati menjadi krusial," tegasnya.
Ulul Albab mengungkapkan bahwa kunci kesuksesan lulusan ideal di era AI terletak pada kemampuan-kemampuan unik manusia yang tak dapat direplikasi oleh kecerdasan buatan.
Ia menjabarkan delapan "senjata" utama ini, dimulai dengan adaptasi cepat; kemampuan manusia untuk berganti jalur karier dengan gesit, berbeda dengan AI yang memerlukan pembaruan sistem untuk perubahan mendasar.
Selanjutnya, rasa ingin tahu yang tak pernah habis, kemampuan manusia untuk menggali makna di balik informasi, bukan hanya mengonsumsi data mentah, menjadi pembeda krusial.
Kemampuan empati, pemahaman dan penerimaan emosi, juga menjadi senjata ampuh manusia di era AI. Hal ini diikuti oleh etika dan moralitas, batasan-batasan tak tertulis yang membimbing pengambilan keputusan manusia, berbeda dengan AI yang hanya menjalankan perintah tanpa pertimbangan moral.
Kreativitas liar, kemampuan untuk menghasilkan ide-ide inovatif dan tak terduga, bahkan dari kegagalan, juga menjadi poin penting. Manusia juga unggul dalam kerja lintas budaya dan disiplin, kemampuan untuk berkolaborasi dan berkomunikasi efektif dengan beragam latar belakang.
Ketahanan mental dan rasa memiliki misi melengkapi daftar "senjata" manusia. Kemampuan untuk bangkit dari kegagalan dan terdorong oleh tujuan yang lebih besar menjadi pembeda utama antara manusia dan AI.
Dengan mengasah delapan kemampuan ini, lulusan masa depan tidak hanya siap memasuki dunia kerja, tetapi juga siap untuk berkontribusi secara signifikan dan bermakna bagi masyarakat.
"Jika kedelapan hal ini diasah di kampus, maka lulusan kita tidak hanya siap kerja, tetapi siap mewarnai dunia," terangnya.
Ulul Albab berharap pendidikan tinggi dapat memfokuskan diri pada pengembangan kemampuan-kemampuan tersebut agar lulusannya siap menghadapi tantangan dan peluang di era AI.
Editor : Ali Masduki