Surga Laut Dunia di Ambang Kehancuran, Tambang Nikel Bisa Rusak Keindahan Raja Ampat
SEMARANG, iNewsSurabaya.id – Aktivitas penambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat, menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Kawasan yang dikenal sebagai surga bawah laut dunia ini merupakan zona konservasi penting dan seharusnya bebas dari aktivitas yang bersifat merusak lingkungan.
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Riyono Caping, menyoroti keras operasi tambang nikel tersebut. Menurutnya, kegiatan ekonomi yang bersifat eksploitatif justru menjadi sumber utama kerusakan ekosistem yang telah lama dijaga.
“Aktivitas bernilai ekonomi, jika tidak diawasi ketat, sering kali menjadi ancaman utama bagi kawasan konservasi. Harus ada ketegasan dari pemerintah agar kawasan ini tetap menjadi benteng pertahanan ekologi dan sumber penghidupan masyarakat lokal,” tegas Riyono dalam keterangannya, Minggu (9/6/2025).
Raja Ampat dikenal luas sebagai "raja biodiversitas laut dunia". Terdapat lebih dari 1.600 spesies ikan, 75% spesies karang yang tercatat secara global, 6 dari 7 jenis penyu langka, serta 17 spesies mamalia laut yang hidup di wilayah tersebut. Dengan luas kawasan konservasi mencapai dua juta hektare, nilai ekologis dan ekonominya disebut mencapai triliunan rupiah jika dikelola secara berkelanjutan.
“Kalau mau bicara angka, nilainya triliunan. Tapi apa gunanya uang jika kita kehilangan rumah bagi ribuan spesies laut langka? Keserakahan telah membutakan mata terhadap pentingnya menjaga kelestarian alam,” lanjutnya.
Kerusakan akibat tambang nikel disebut telah memicu sedimentasi besar-besaran, yang berdampak pada kematian biota laut, termasuk terumbu karang. Bahkan, data literasi menunjukkan bahwa sekitar 30% luas terumbu karang di Raja Ampat sudah rusak.
“Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seharusnya paham potensi kerugian jangka panjang akibat kerusakan ini. Kawasan konservasi harusnya menjadi zona larangan untuk izin tambang. Ini bukan semata soal ekonomi, tapi soal keberlangsungan kehidupan laut dan pangan biru,” ujar Riyono.
Meski pemerintah pusat, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian ESDM, telah memberikan sinyal untuk menghentikan aktivitas tambang tersebut, Riyono menilai langkah yang diambil belum cukup tegas.
Potensi pemasukan dari tambang nikel di Raja Ampat memang tidak kecil, diperkirakan mencapai Rp2 triliun per tahun. Namun, ia menegaskan bahwa kerugian ekologis dan sosial yang ditimbulkan jauh lebih besar.
“Jangan korbankan Raja Ampat demi keuntungan jangka pendek. Jika kita jaga utuh wilayah ini, maka sumber pangan biru bagi masyarakat pesisir—seperti ikan, rumput laut, dan biota lainnya—akan tetap tersedia hingga anak cucu mereka,” pungkas Riyono.
Editor : Arif Ardliyanto