Perlawanan Rakyat Pati, Peringatan Serius Pemakzulan Kepala Daerah Lain di Indonesia
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Aksi massa di Alun-alun Pati pada Rabu (13/8/2025) menjadi sorotan nasional. Gelombang protes besar-besaran pecah usai Pemerintah Kabupaten Pati menetapkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250% melalui Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 17 Tahun 2025.
Kebijakan ini memicu kemarahan publik karena dinilai menabrak batas kewajaran. Meski Bupati Pati, Sudewo, akhirnya membatalkan Perbup tersebut dan menyampaikan permintaan maaf, kekecewaan warga sudah telanjur mengakar. Desakan pemakzulan pun menggema, mengubah Pati menjadi pusat perhatian politik daerah.
Aturan dan Proses Pemakzulan Kepala Daerah
Pemakzulan merupakan mekanisme konstitusional untuk menjaga integritas pemerintahan daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Mandat ini dapat dicabut jika kepala daerah terbukti melanggar hukum, etika, atau mengabaikan kepentingan umum.
Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dapat diberhentikan sebelum masa jabatan berakhir apabila:
1. Melanggar sumpah/janji jabatan.
2. Tidak menjalankan kewajiban menaati peraturan perundang-undangan.
3. Melanggar larangan tertentu, seperti menjadi pengurus perusahaan, bepergian ke luar negeri tanpa izin, atau meninggalkan wilayah kerja lebih dari 7 hari.
4. Melakukan perbuatan tercela.
Prosesnya dimulai dari DPRD melalui hak interpelasi, hak angket, hingga hak menyatakan pendapat. Keputusan DPRD kemudian diuji oleh Mahkamah Agung dalam waktu 30 hari. Jika terbukti, Menteri Dalam Negeri akan mengeluarkan keputusan pemberhentian.
Apakah Kenaikan Pajak Bisa Jadi Alasan Pemakzulan?
Kenaikan PBB-P2 di Pati berpotensi masuk kategori pelanggaran kewajiban kepala daerah. Pasal 67 huruf (b) UU Pemda mewajibkan kepala daerah menaati seluruh peraturan perundang-undangan, sedangkan huruf (e) mengamanatkan penerapan prinsip good governance.
Jika terbukti Perbup 17/2025 melanggar asas legalitas dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, maka kebijakan tersebut bisa menjadi dasar hukum pemakzulan. Saat ini, DPRD Kabupaten Pati sudah membentuk Panitia Khusus (Pansus) dan menggunakan hak angket untuk menyelidiki proses pembentukan kebijakan tersebut.
Efek Domino ke Daerah Lain
Kasus Pati bisa menjadi barometer nasional. Di Jombang, lonjakan PBB bahkan mencapai 400%. Sementara di Cirebon, kebijakan kenaikan pajak hingga 1.000% memicu gejolak serupa.
Polanya nyaris sama: kepala daerah menggunakan kewenangan fiskal tanpa partisipasi publik memadai, mengabaikan prinsip proporsionalitas, dan menimbulkan jurang antara legalitas dan legitimasi.
Jika tren ini terus berulang, bukan tidak mungkin gelombang pemakzulan akan menjalar ke berbagai daerah lain di Indonesia.
Peristiwa di Pati menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan sekadar slogan. Rakyat memiliki hak konstitusional untuk mengoreksi bahkan mencabut mandat yang telah diberikan jika penguasa dianggap mengkhianati amanatnya.
Ungkapan "Vox Populi, Vox Dei" — suara rakyat adalah suara Tuhan — kembali relevan. Ketika jarak antara penguasa dan rakyat melebar, protes bisa berubah menjadi langkah hukum yang mengguncang kursi kekuasaan.
Penulis:
Dr. Hufron, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 SurabayaS
ekretaris Pengurus Wilayah Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Timur
Editor : Arif Ardliyanto