APBN 2026, Antara Janji Populis dan Risiko Fiskal?
Tiga Titik Rawan
Utang dan bunga: pembayaran yang terus meningkat bisa menyedot dana produktif, Efektivitas program baru: MBG dan koperasi butuh tata kelola rapi tanpa itu akan gagal dan Risiko kebocoran: pengadaan barang/jasa, bansos, dan transfer daerah masih rawan praktik korupsi.
Jalan Tengah yang Diperlukan
Untuk menjawab keraguan publik, pemerintah harus melakukan empat hal:
Transparansi total melalui digitalisasi anggaran (e-budgeting, e-procurement), Audit independen khusus untuk program besar seperti MBG dan koperasi, Pengawasan publik dengan melibatkan media, masyarakat sipil, dan akademisi dan Evaluasi berbasis outcome, bukan hanya serapan anggaran.
Dengan begitu, APBN tidak hanya menjadi angka-angka indah di kertas, tetapi juga alat nyata memperkuat pondasi ekonomi kerakyatan. APBN adalah senjata pamungkas negara untuk menaklukkan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
APBN 2026 bisa menjadi tonggak penguatan fundamental ekonomi jika dijalankan dengan disiplin, transparansi, dan akuntabilitas.
Pada akhirnya, rakyat menunggu jawaban: apakah uang Rp 3.842 triliun benar-benar kembali dalam bentuk pelayanan publik yang lebih baik, atau hanya menjadi deretan angka yang tidak pernah menyentuh kehidupan sehari-hari. APBN adalah janji negara yang ditulis dengan angka, dijalankan dengan kejujuran kerja, dan dibayar dengan mewujudkan kesejahteraan rakyat semesta.
Penulis :
Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, S.E., M.Si. Guru Besar Universitas Ciputra Surabaya dan Ketua Persatuan Gurubesar/Profesor Indonesia (DPD Pergubi) Prop. Jawa Timur
Editor : Arif Ardliyanto