Ketika Ibadah Tak Lagi Aman, Refleksi dari Kasus di Masjid Bandar Lampung
Masjid, CCTV, dan Rasa Aman yang Hilang
Kita patut bertanya, bagaimana mungkin tindakan sekeji itu bisa terjadi di rumah ibadah? Bukankah masjid seharusnya jadi tempat yang paling menenangkan?
Kamera CCTV memang membantu membongkar peristiwa tersebut. Tapi pengawasan yang reaktif tak akan cukup tanpa sistem pencegahan. Mungkin sudah saatnya pengurus masjid berpikir ulang soal keamanan: patroli rutin, tata letak ruang ibadah yang lebih aman, dan pengawasan berbasis komunitas tanpa mengurangi kekhusyukan ibadah.
Karena rasa aman bukan sekadar soal teknologi, tapi juga soal kehadiran manusia yang peduli.
Data Kementerian PPPA menunjukkan peningkatan kasus kekerasan seksual di ruang publik dalam beberapa tahun terakhir. Dari sekolah, transportasi umum, hingga tempat ibadah, semuanya menunjukkan pola yang sama: lemahnya kesadaran tentang consent (persetujuan) dan batas pribadi.
Banyak pelaku berlindung di balik dalih “gangguan jiwa” atau “ketidaksengajaan”. Tapi pertanyaannya, sampai kapan alasan itu dijadikan tameng dari tanggung jawab hukum dan moral?
Kasus TR seharusnya menjadi momentum untuk berhenti melihat kekerasan seksual sebagai “masalah perempuan”. Ini adalah persoalan kemanusiaan, tanggung jawab kita bersama.
Hukum memang harus ditegakkan dengan tegas melalui UU TPKS, tapi hukum saja tidak cukup. Dibutuhkan edukasi sosial yang konsisten—tentang empati, kesetaraan, dan keberanian untuk bersuara. Dari sekolah, dari mimbar khutbah, dari media sosial kita sendiri.
Perempuan tidak butuh belas kasihan, mereka butuh keadilan dan ruang aman untuk hidup dan beribadah tanpa rasa takut.
Karena di akhir hari, keadilan sejati bukan hanya ketika pelaku dihukum, tapi ketika tak ada lagi yang perlu takut datang ke masjid sendirian.
Penulis :
Larasaty Karina Zahwa, Lovisty Anindya, Liemmanda, Devina Aurelia Prastika, Devina Dwi Nur’aini, dan Arnanda Dysa Renata
(Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Editor : Arif Ardliyanto