SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara 17 terdakwa penggelapan bahan bakar minyak (BBM) membatalkan membuka data intelejen dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Padahal, data yang hendak dibuka JPU yang diklaimnya sebagai aliran dana mencurigakan yang bernilai miliaran rupiah.
Upaya membacakan hasil laporan PPATK ini dilakukan oleh JPU Estik Dilla dan jaksa Uwais Deffa, di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (30/1/2023).
Kedua jaksa tersebut awalnya menanyakan pada saksi Freddy Soenjoyo, yang menjabat sebagai Komisaris Utama di PT Bahana Line, tentang pengetahuannya atas transaksi keuangan yang dilakukan oleh direktur Bahana Line berinisial HS dan RT.
"Transaksi tersebut patut diduga hasil penjualan BBM dari Meratus," ujar jaksa Uwais membacakan berkas laporan PPATK.
Upaya JPU ini pun langsung mendapatkan protes dari Gede Pasek Suardika, pengacara karyawan PT Bahana Line yang menjadi terdakwa dalam kasus tersebut.
Dalam kesempatan tersebut, pria yang akrab disapa GPS itu mengingatkan JPU bahwa membuka data intelejen PPATK dilarang dibocorkan ke publik. Sebab, hal itu dianggap bisa sebagai perbuatan pidana.
"Saya ingatkan di forum sidang ini sesuai Pasal 11 ayat 2 UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang laporan PPATK adalah bersifat Inteligential Financial Unit (IFU) dan yang membuka terancam hukuman 4 tahun penjara termasuk juga bagi penyidik, penuntut umum, hakim maupun siapapun orang yang mendapatkannya," kata GPS.
Usai mendapatkan protes dan diingatkan dasar hukumnya, upaya itu pun langsung diurungkan JPU. Ketua Majelis Hakim Sutrisno pun juga menyatakan tidak selalu surat dinilai sebagai alat bukti karena nanti akan dinilai sesuai dengan aturan yang berlaku maupun keyakinan hakim.
Di luar persidangan, Gede Pasek Suardika menjelaskan agar proses hukum ini berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Dokumen PPATK itu, kata GPS, sifatnya confidential dengan ancaman pidana karena itu semua harus diujikan di penyelidikan dan penyidikan dengan alat bukti sesuai KUHAP.
"Jangan buat framing tanpa check and crosscheck karena angka berapapun transaksinya harus dikonfirmasi dulu dengan nama yang disebut. Bukan begitu saja data mentah lalu dibawa ke pengadilan. Kacau sistem hukum kita nanti dan ini melompati kewenangan PPATK," kata mantan ketua Komisi 3 DPR RI tersebut.
Dokumen PPATK itu sifatnya IFU sehingga dipakai pengembangan dipenyelidikan dan penyidikan bukan untuk dibocorkan di persidangan.
"Kami mengingatkan kalau tanpa ijin PPATK itu bisa terancam 4 tahun termasuk penegak hukum yang teledor tersebut. Itukan bukan bukti tetapi untuk membantu penegak hukum mencari alat bukti yang sesuai dengan KUHAP. Sama dengan dokumen BIN itu untuk info awal yang harus diolah lagi untuk bisa menjadi bukti hukum. Penegak hukum harus taat azas. Saya hanya mengingatkan," jelasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait