Berbagai Mitos dan Fakta Tentang Produksi Minyak Indonesia

Ali
Ada mitos di tengah masyarakat bahwa harga minyak bumi harus murah. Foto/Istimewa

Saleh pun mengungkapkan bahwa kadang-kadang asumsi pemerintah kurang tepat gara-gara faktor non fundamental tadi. "Misalnya di APBN 2021, harga minyak dipatok 45 US$  per barel. Ternyata harga minyak dunia jauh di atas itu. Lalu di APBN 2022 dipatok menjadi 63 US$ per barel. Ternyata harga minyak dunia sebesar 109 US$ per barel," ujarnya.

Kondisi ini, kata Saleh, semakin berpengaruh karena produksi migas Indonesia, terus turun. Pada 2017 produksi minyak Indonesia sebesar 800 ribu barrel per hari, sementara sekarang menjadi 659 ribu barel per hari. Angka ini turun terus karena faktor alami. Selain karena alasan-alasan natural deflation, tetapi juga karena faktor-faktor lain.

"Impact nya ke depan kebutuhan BBM kita naik, menjadi 439 juta barel setahun. Padahal produksi kita hanya 256 juta barel per tahun, sehingga sisanya kita harus impor. Inilah yang menimbulkan ketergantungan kita terhadap faktor-faktor non fundamental," kata Saleh.

Saat ini pemerintah hadir dan berkomitmen untuk menekan biaya keekonomian yang seharusnya dibayarkan masyarakat, dengan memberikan kompensasi. Sekarang misalnya, harga dipatok Rp 6.800. Padahal sebenarnya harga keekonomiannya  Rp15.000. Inilah yang disebut sebagai kompensasi yang harus dibayar pemerintah, selain subsidi Rp1.000 yang melekat saat warga membeli BBM.

Total subsidi energi saat ini mencapai Rp 502 triliun. Angka terbesarnya berasal dari kompensasi dari pemerintah. "Pertalite sekarang ditentukan kuotanya. Tahun ini 32,5 juta liter. Harganya juga ditentukan Rp 10.000. Kalau harga internasionalnya Rp 15.000, maka Rp 5.000 harus dibayar pemerintah," kata Saleh.

Sementara itu, Guru Besar FEB Undip FX Sugiyanto mengatakan bahwa saat ini pemerintah, BPH Migas, dan Pertamina harus transparan dalam pengelolaan migas, dan mampu mengimplementasikan kebijakan secara bertanggung jawab. Selain itu, mereka juga harus kredibel dan fair.

Prof Sugiyanto membandingkan bahwa kompensasi subsidi pemerintah sebesar Rp 502 triliun itu sebenarnya dapat dipakai untuk membangun Jembatan Selat Sunda. Sebab, 10 tahun lalu biaya pembangunan jembatan Selat Sunda itu baru sekitar Rp 96 triliun, sementara saat ini sekitar Rp 200 triliun.

"Artinya dalam setahun saja subsidi BBM itu bisa untuk membangun satu seperempat jembatan Selat Sunda. Anda bisa bayangkan bahwa ternyata dengan kompensasi subsidi itu kita bisa membangun berbagai jembatan. Apalagi dalam lima tahun nanti. Setelah Jembatan Selat Sunda, nanti ada jembatan Selat Bali, dan sebagainya. Menurut saya, yang sangat penting di sini adalah bahwa subsidi itu seharusnya bisa dialokasikan untuk yang lain," ujarnya.

Editor : Ali Masduki

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network