SURABAYA, iNewsSurabaya.id - BPH Migas mengingatkan tentang kenyataan bahwa Indonesia sudah bukan pengekspor minyak lagi. Indonesia kini bahkan sudah menjadi negara net importir minyak. Sebab, pada kenyataanya, Indonesia bukanlah negara yang kaya minyak.
Menurut anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman, berbicara tentang minyak maka perlu dibahas juga tentang cadangan minyak yang ada di bawah permukaan bumi. Cadangan ini bermacam-macam, baik cadangan yang sudah siap diambil, dan juga cadangan yang dapat dieksplorasi.
"Faktanya, saat ini cadangan minyak kita yang sudah siap diambil hanya tersisa 3 miliar barel. Itu hanya cukup untuk bertahan selama 10 tahun, dengan tingkat produksi 650.000 barel per hari seperti saat ini. Satu barel itu sama dengan 159,9 liter," kata Saleh di Universitas Diponegoro, Semarang.
Ada pula mitos di tengah masyarakat bahwa harga minyak bumi harus murah. Faktanya, kata Saleh, harga minyak di Indonesia dipengaruhi oleh harga internasional. Sebab, ada beberapa faktor yang mempengaruhi harga minyak. Saat ini yang sangat berpengaruh adalah perang antara Rusia dengan Ukraina. Perang itu menyebabkan kelangkaan pasokan minyak dunia. Sebagai akibatnya, harga minyak pun naik.
Harga minyak bumi itu ditentukan oleh dua faktor. Biasanya satu disebut faktor fundamental, sementara yang kedua adalah faktor non fundamental. Faktor fundamental berkaitan dengan produksi dan kesiapan kilang. Sedangkan yang non fundamental misalnya seperti tiba-tiba pecah perang yang menyebabkan harga naik. "Faktor-faktor non fundamental mempengaruhi harga minyak, dan kadang-kadang lebih kuat impact-nya dari pada faktor fundamental," kata Saleh.
Selanjutnya perkembangan harga minyak mentah dunia sejak 2015 mulai dilihat dari brent. Brent menjadi acuan dalam penentuan harga minyak, terutama di Eropa. Sementara di Indonesia, kita memakai ICP atau Indonesian Crude Price. "Di 2021 harga minyak dunia sebesar 68 US$ per barel, kemudian pada 2022 menjadi sekitar 103 US$ per barel. Fluktuasi harga ini sangat berpengaruh. Larinya nanti ke subsidi," kata Saleh.
Saleh pun mengungkapkan bahwa kadang-kadang asumsi pemerintah kurang tepat gara-gara faktor non fundamental tadi. "Misalnya di APBN 2021, harga minyak dipatok 45 US$ per barel. Ternyata harga minyak dunia jauh di atas itu. Lalu di APBN 2022 dipatok menjadi 63 US$ per barel. Ternyata harga minyak dunia sebesar 109 US$ per barel," ujarnya.
Kondisi ini, kata Saleh, semakin berpengaruh karena produksi migas Indonesia, terus turun. Pada 2017 produksi minyak Indonesia sebesar 800 ribu barrel per hari, sementara sekarang menjadi 659 ribu barel per hari. Angka ini turun terus karena faktor alami. Selain karena alasan-alasan natural deflation, tetapi juga karena faktor-faktor lain.
"Impact nya ke depan kebutuhan BBM kita naik, menjadi 439 juta barel setahun. Padahal produksi kita hanya 256 juta barel per tahun, sehingga sisanya kita harus impor. Inilah yang menimbulkan ketergantungan kita terhadap faktor-faktor non fundamental," kata Saleh.
Saat ini pemerintah hadir dan berkomitmen untuk menekan biaya keekonomian yang seharusnya dibayarkan masyarakat, dengan memberikan kompensasi. Sekarang misalnya, harga dipatok Rp 6.800. Padahal sebenarnya harga keekonomiannya Rp15.000. Inilah yang disebut sebagai kompensasi yang harus dibayar pemerintah, selain subsidi Rp1.000 yang melekat saat warga membeli BBM.
Total subsidi energi saat ini mencapai Rp 502 triliun. Angka terbesarnya berasal dari kompensasi dari pemerintah. "Pertalite sekarang ditentukan kuotanya. Tahun ini 32,5 juta liter. Harganya juga ditentukan Rp 10.000. Kalau harga internasionalnya Rp 15.000, maka Rp 5.000 harus dibayar pemerintah," kata Saleh.
Sementara itu, Guru Besar FEB Undip FX Sugiyanto mengatakan bahwa saat ini pemerintah, BPH Migas, dan Pertamina harus transparan dalam pengelolaan migas, dan mampu mengimplementasikan kebijakan secara bertanggung jawab. Selain itu, mereka juga harus kredibel dan fair.
Prof Sugiyanto membandingkan bahwa kompensasi subsidi pemerintah sebesar Rp 502 triliun itu sebenarnya dapat dipakai untuk membangun Jembatan Selat Sunda. Sebab, 10 tahun lalu biaya pembangunan jembatan Selat Sunda itu baru sekitar Rp 96 triliun, sementara saat ini sekitar Rp 200 triliun.
"Artinya dalam setahun saja subsidi BBM itu bisa untuk membangun satu seperempat jembatan Selat Sunda. Anda bisa bayangkan bahwa ternyata dengan kompensasi subsidi itu kita bisa membangun berbagai jembatan. Apalagi dalam lima tahun nanti. Setelah Jembatan Selat Sunda, nanti ada jembatan Selat Bali, dan sebagainya. Menurut saya, yang sangat penting di sini adalah bahwa subsidi itu seharusnya bisa dialokasikan untuk yang lain," ujarnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait