SIDOARJO, iNewsSurabaya.id - Saksi ahli dalam lanjutan persidangan kasus kredit macet Bank OCBC NISP mengungkapkan pemegang saham PT Hair Star Indonesia (HSI), diantaranya PT. Hari Maharadika Usaha yang mana Susilo Wonowidjojo sebagai pemegang saham pengendali dapat dituntut pertanggungjawaban kredit macet senilai Rp 232 miliar, begitu terbukti melakukan itikad tidak baik dalam hal pengalihan saham yang dilakukan tanpa persetujuan Bank OCBC NISP.
Muhammad Yahya Harahap, S.H, saksi ahli hukum perdata yang juga Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI periode 1982 – 2000 dalam kesaksiannya di persidangan kasus kredit macet Bank OCBC NISP menyatakan Pasal 3 ayat 2 huruf (b) UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan, pemegang saham dapat dituntut atas perbuatan melawan hukum (PMH) jika terbukti melakukan pengalihan saham dengan itikad tidak baik dan menghindari kewajiban utang perseroan kepada kreditur.
“Pemegang saham bertanggungjawab apabila menggunakan Perseroan untuk kepentingan pribadi. Apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan bersama-sama pemegang saham, direksi, dan komisaris, seluruhnya harus bertanggung jawab," kata Yahya saat memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (12/7/2023). Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim PN Sidoarjo, Moh. Fatkan SH, M.Hum.
Jika pasal 3 ayat 2 huruf (b) terpenuhi, maka azas-azas Separate Entity dan Limited Liability dapat dikesampingkan (site aside) dan ditembus melalui Piercing The Corporate Veil berdasarkan hal-hal dan alasan yang disebut dalam Pasal 3 ayat 2 huruf (b), (c) dan (d) UU No.40/2007 Tentang Perseroan Terbatas.
"Pemegang saham dapat dituntut secara hukum untuk bertanggung jawab atas kerugian yang dialami kreditur,” lanjutnya.
Muhammad Yahya menambahkan, berdasarkan KUHPerdata Pasal 1338, ada 3 akibat hukum dari perjanjian, yakni pertama: perjanjian dianggap sebagai UU untuk pihak yang membuatnya, kedua: perjanjian tidak bisa dibatalkan oleh satu pihak, ketiga: perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.
“Penerapan tanggungjawab kepada anggota Direksi yang disebut dalam Pasal 104 ayat (2) UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas berlaku penegakan hukum bagi Anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai Direksi dalam jangka waktu 5 Tahun sebelum perseroan dinyatakan pailit. Dalam hal kepailitan yang dialami perseroan akibat kesalahan atau kelalaian pengawasan maka menurut Pasal 115 UU PT, Anggota Dewan Komisaris dengan Anggota Direksi secara tanggungrenteng bertanggungjawab atas kewajiban Perseroan yang belum dilunasi,” kata Yahya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait