Sementara M. Nalar, ekonom dan peneliti dari Sigmaphi menyampaikan bahwa pemberian status KEK harus mempertimbangkan masyarakat yang ada di sekitarnya. Jika ada penolakan-penolakan dan kesepakatan yang tidak jalan, maka sebaiknya status harus di evaluasi. Sebagai contoh adalah KEK Kura-Kura Bali, yang dikelola oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID).
“Adanya pro dan kontra dari masyarakat sekitar karena dianggap masyarakat tidak menerima manfaat, terus kemudian nelayan jadi susah mengambil ikan di sekitaran wilayah KEK. Jadi kan kita pertanyakan,” jelasnya.
Magister Kebijakan Publik di Universitas Indonesia itu juga menilai, berbagai penolakan yang menyelimuti KEK Kura-Kura Bali seolah-olah memunculkan pertanyaan, apakah KEK Kura-Kura Bali sudah berjalan sesuai aturan atau belum.
“Kalau misalnya memang tidak ada (penolakan), semua pihak sudah sepakat. Sebagai pengamat ekonomi kita lihat, apakah memang perlu dilihat lagi mekanismenya lagi atau sudah berjalan sesuai dengan aturan, bagaimana kesepakatan itu didapatkan,” tutur Nalar.
KEK Kura-Kura Bali adalah salah satu KEK yang ada di Provinsi Bali. Pada tanggal 5 April 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Kura-Kura Bali sebagai KEK melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Kura-Kura Bali.
Dalam PP itu, disebutkan bahwa KEK Kura-Kura Bali memiliki luas 498 hektare yang masuk dalam wilayah Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali.
Kendati demikian, langkah BTID untuk memperoleh status KEK itu bukan tanpa penolakan. Eksklusivitas hingga hilangnya manfaat bagi masyarakat, khususnya nelayan, menjadi alasan penolakan mega proyek yang berada di wilayah Desa Adat Serangan. Sejumlah masyarakat juga menuntut pengembalian lahan seperti semula dengan melakukan upaya hukum.
Menurut sarjana Ilmu Ekonomi di Universitas Diponegoro ini, masyarakat sekitar Pulau Serangan seolah-olah dihadapkan dengan sebuah barrier atau penghalang ketika kawasan tersebut ditetapkan sebagai KEK. Jika hal ini terjadi, lanjut Nalar, proses berjalannya KEK itu patut dikaji kembali.
“Kalau misalnya akibat barrier itu misalnya nelayan susah dalam mencari mata pencahariannya, mendapatkan ikan untuk dijual, nah ini kemudian dipertanyakan. Jadi hal-hal seperti ini seharusnya dikaji lagi pemerintah, apakah memang prosesnya sudah berjalan dengan benar atau belum, karena masih kita temukan bahwa ada masalah,” tutur Nalar.
Melihat kondisi tersebut, Nalar pun melihat keberadaan KEK Kura-Kura Bali ini hanya menguntungkan bagi para turis saja.
“Jangan-jangan masyarakat Bali di sekitarnya, Denpasar khususnya, itu tidak menerima manfaat. Dari KEK yang menerima manfaat ini hanya turis,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait