SURABAYA, iNewsurabaya.id - Rencana pemerintah untuk mengembalikan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2026 menimbulkan perdebatan di kalangan pakar pendidikan. Abdul Mu'ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, baru-baru ini menyatakan bahwa kajian terkait hal ini masih berlangsung.
Namun, Ulul Albab, Ketua ICMI Orwil Jawa Timur, mengungkapkan keraguannya terhadap manfaat UN bagi kemajuan pendidikan Indonesia. Ia mempertanyakan tujuan dan sasaran sebenarnya dari kebijakan tersebut, mengingat dampak negatif UN di masa lalu.
Sistem tersebut, menurutnya, menciptakan tekanan psikologis dan sosial yang signifikan bagi siswa. Nilai UN yang sangat menentukan kelulusan dan akses ke jenjang pendidikan lebih tinggi, menurut Albab, mengarah pada pembelajaran yang hanya berfokus pada angka, bukan pada pemahaman mendalam.
"Pendidikan bukanlah sekadar angka," tegasnya.
"Ini adalah proses pembentukan karakter, pengembangan kemampuan berpikir kritis, dan persiapan generasi masa depan yang bermanfaat bagi bangsa," tutur Ulul Albab.
Ia juga mempertanyakan efektivitas UN sebagai tolok ukur penguasaan materi pelajaran. "Pendidikan adalah proses panjang, bukan hanya persiapan untuk ujian," ujarnya.
Untuk itu Ulul Albab menekankan bahwa UN seharusnya mengevaluasi sistem pendidikan secara menyeluruh, bukan sekadar menambah beban siswa dan orang tua.
"Untuk siapa pendidikan ini? Siswa atau sistemnya sendiri?" tanyanya.
Lebih lanjut, Ulul Albab mengkritik kelemahan UN sebelumnya. Sistem tersebut, menurutnya, terlalu berfokus pada beberapa mata pelajaran tertentu, mengabaikan mata pelajaran penting seperti Pendidikan Pancasila, Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK), Seni Budaya, dan Pendidikan Agama.
Hal ini, menurut Ulul Albab, mengakibatkan pembentukan karakter siswa menjadi terabaikan. Ia juga mengutip Perhimpunan Pendidik dan Guru (P2G) yang menilai UN sebelumnya tidak adil karena memisahkan mata pelajaran menjadi "penting" dan "tidak penting".
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait