Program Sekolah Kemiskinan Prabowo, Solusi Inovatif atau Proyek Instan?

Ali Masduki
Presiden Prabowo Subianto meninjau pelaksanaan program makan bergizi gratis di SDN Kedung Jaya 1 Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (10/2/2025). Foto: BPMI Setpres

SURABAYA – Program ‘Sekolah Kemiskinan’ yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto terus menjadi perbincangan publik. Diklaim sebagai upaya inovatif mengatasi kemiskinan, program ini menuai beragam tanggapan—mulai dari dukungan hingga skeptisisme. 

Salah satu pertanyaan kritis muncul dari Prof Tuti Budirahayu, Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga (UNAIR), yang mempertanyakan efektivitas jangka panjang program ini 16.

Program Sekolah Kemiskinan dirancang untuk memberikan pendidikan gratis dan berasrama bagi anak-anak dari keluarga miskin, dengan target 200 sekolah berasrama pada 2025 dan 1.000 siswa per sekolah27. Presiden Prabowo menegaskan, program ini bertujuan memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi.

“Anak orang kurang mampu tidak boleh miskin. Kalau bapaknya pemulung, anaknya tidak boleh jadi pemulung. Kita harus berdayakan,” tegas Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna 2.

Namun, Prof. Tuti Budirahayu mempertanyakan landasan teoritis program ini. “Sekolah pada dasarnya adalah lembaga pendidikan formal. Apakah Sekolah Kemiskinan akan menggantikan sekolah yang sudah ada, atau justru menjadi pesaing?” ujarnya 1.

Ia juga menyoroti risiko pembangunan fisik tanpa perencanaan matang, mengingat banyak proyek pemerintah sebelumnya yang mangkrak atau cepat rusak1.

Pemerintah menargetkan 53 sekolah kemiskinan akan beroperasi dalam tiga bulan ke depan, dengan 147 sekolah tambahan menyusul sepanjang tahun 2025. 

Untuk mendukung fleksibilitas belajar, program ini menerapkan kurikulum individual approach dan sistem multi-entry multi-exit, sekaligus memprioritaskan penyerapan guru dari lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang belum mendapatkan pekerjaan.

Di tengah optimisme pemerintah, Prof. Tuti Budirahayu, Guru Besar Sosiologi Pendidikan UNAIR, memberikan catatan kritis. Ia menyarankan agar fokus dialihkan pada revitalisasi sekolah existing daripada membangun fasilitas baru. 

"Sekolah yang ada sebenarnya bisa diperbaiki infrastrukturnya, kurikulumnya disesuaikan dengan kebutuhan, dan kualitas guru ditingkatkan. Pendekatan seperti ini jauh lebih berkelanjutan ketimbang sekadar membangun proyek fisik baru," tegas Prof. Tuti, menekankan pentingnya pembenahan sistem pendidikan yang sudah ada. Ia juga menegaskan mengenai pentingnya monitoring jangka panjang agar program tidak sekadar simbolis.

Editor : Ali Masduki

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network