Ia juga mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya sebatas pemilu lima tahunan. Demokrasi juga tentang hak untuk didengar dan menyampaikan ketidaksetujuan.
"Menyampaikan aspirasi melalui aksi bukanlah kejahatan, melainkan partisipasi," tegasnya. Namun, respon negara yang kerap represif terhadap ekspresi mahasiswa di ruang digital maupun di lapangan menciptakan preseden buruk.
Ulul Albab memperingatkan bahaya membungkam kritik. Hal ini dapat memicu ketidakpercayaan terhadap negara dan aparat penegak hukum, frustrasi dan radikalisasi di kalangan generasi muda, serta kematian semangat berpikir kritis di kampus.
Sebagai solusi, Ulul Albab mengusulkan beberapa langkah. Pertama, negara perlu membangun kembali saluran dialog resmi antara mahasiswa dan pengambil kebijakan.
Kedua, reformasi serius dalam pendekatan kepolisian terhadap gerakan sipil sangat dibutuhkan.
Ketiga, kampus harus dijamin sebagai ruang aman bagi kebebasan berpikir dan berekspresi.
Keempat, peningkatan literasi demokrasi di semua lini pemerintahan dan penegakan hukum menjadi krusial.
"Bangsa ini tidak akan runtuh oleh kritik. Justru karena kritik, kita tahu ke mana harus melangkah. Dan mahasiswa adalah bagian dari cahaya itu kadang menyilaukan, kadang mengganggu, tapi selalu menunjukkan arah," pungkas Ulul Albab.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait
