Dari perspektif kritis, pengampunan terhadap kasus yang mengandung unsur korupsi—meski diklaim berlatar belakang politik—berisiko membenarkan praktik impunitas. Di mata publik, ini menciptakan narasi bahwa hukum dapat dinegosiasikan, dan keadilan bisa ditangguhkan atas nama stabilitas atau persatuan nasional.
Pengampunan tanpa komunikasi moral yang jelas berpotensi mempercepat kemunduran etika dalam negara hukum. Seperti diingatkan Montesquieu, kebebasan tidak hilang karena tirani besar, melainkan oleh pelapukan perlahan prinsip-prinsip keadilan yang dibiarkan begitu saja.
Jika negara tidak mampu menjelaskan apa urgensi amnesti dan abolisi, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat luas, maka keputusan itu hanya akan dipersepsikan sebagai konsolidasi politik belaka.
Presiden Prabowo menyebut tujuannya adalah menjaga stabilitas dan mendorong persatuan nasional menjelang perayaan Hari Kemerdekaan. DPR pun menyebut langkah ini sebagai bentuk “strategi kebangsaan”. Namun publik bertanya: di mana peta jalan rekonsiliasi itu?
Tidak ada penjelasan yang memadai soal bagaimana pengampunan ini menyembuhkan luka sosial atau menciptakan keadilan transisional. Yang terlihat hanyalah dua nama besar yang bebas dari hukuman, disusul lebih dari seribu terpidana lain yang ikut memperoleh pengampunan.
Amnesti dan abolisi sejatinya lahir dari kebutuhan untuk meredakan konflik politik serius, seperti pemberontakan PRRI/Permesta, Gerakan Aceh Merdeka, atau separatisme Papua. Semua kasus tersebut terkait langsung dengan keamanan nasional.
Namun kasus Hasto dan Tom Lembong—meskipun beraroma politik—berakar pada dugaan tindak pidana korupsi. Dalam logika hukum pidana, ini bukan konflik politik ideologis, melainkan pelanggaran hukum administratif dan ekonomi.
Karenanya, jika pengampunan diberikan untuk kasus korupsi, jalan yang seharusnya ditempuh adalah grasi atau rehabilitasi—yang melibatkan pertimbangan Mahkamah Agung, bukan amnesti atau abolisi yang sarat nuansa politik.
Sejarah mencatat, Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1954 menetapkan bahwa amnesti dan abolisi hanya diberikan untuk tindak pidana akibat konflik politik pra-1950. Konstitusi pun membedakan dengan jelas bahwa pengampunan bersifat politis harus melalui DPR, sedangkan yang bersifat yudisial melalui Mahkamah Agung.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
